Melihat Acara Mandi Sungai Riam di Cemapaka

Kabut itu datang

Pagi ini berbeda dari kemarin. Sapuan awan tipis pembuka pagi memang tetap ada, namun kali ini disertai bau terbakar tipis. Semula tidak tercium, namun lama kelamaan bau itu mulai teraba indra penciuman. Pelan-pelan ada rasa sesak yang membelai. Aih, apakah ini.

Jarak pandang memang masih belum terhalang benar. Masih jauh mata melihat, tetapi saat melihat ke Bandara Samsudin Noer, tak terlihat deretan pesawat yang parkir di apron. Gedungnya pun tampak samar saja.

Matahari yang semakin meninggi tidak juga menghilangkan sapuan tipis putih itu. Anginlah yang mampu menghalaunya pergi. Itu pun setelah bujuk rayu manis sang bayu pada kabut. Dia mau pergi membawa serta sesak di dada.

Inilah kemarau adanya, mudah-mudahan sudah memasuki puncaknya agar hujan segera datang. Agar kabut putih itu yang merupakan asap kebakaran hutan tidak lagi bertandang. Tak terbayang jika asap itu makin pekat. Bagaimana dengan sesak yang bisa semakin kuat terasa.

Memang kehijauan di tepi jalan, sudah berganti menjadi coklat pertanda kekeringan. Semak-semak pun semakin rawan tersentuh. Sedikit saja percik api menjilatnya, maka beranakpinaklah menjadi banyak dan besar. Terkadang tak perlu ada puntung rokok sebagai penyulut. Panas matahari pun dapat membuatnya membara.

Air menjadi begitu sangat berharga untuk bisa mengendalikan sang api, sementara sungai-sungai kecil mulai menangis sedih karena tak teraliri. Aih, sedihnya. Mudah-mudahan hujan segera membasahi bumi agar api tak terus bernyala di padang dan hutan lagi.

Komentar