Melihat Acara Mandi Sungai Riam di Cemapaka

Tukang urut

Ah, lama banget nggak ke H. Nawi Jakarta Selatan yang tersohor sama tukang urutnya. Bukan urut sembarang urut ya, mereka dikenal ahli patah tulang. Kok, mereka? Iya, sebab nggak cuma satu orang. Tetapi beberapa orang yang, kabarnya, masih bersaudara.

20180728_155059

Beberapa tahun lalu, saya pernah merasakan sentuhan ibu Haji (maaf lupa namanya) waktu tangan bermasalah. Gerakannya sih lembut dan nggak terlalu bertenaga, tapi saya melintir jungkir balik nahan efeknya. Aslinya mau nangis, tapi malu. Masa ibu-ibu berurai air mata plus gerung-gerung karena belaian begitu rupa. Tapi, asli deh, rasanya tak seindah yang dibayangkan.

Apalagi, urusan belai-belaiannya harus dilakukan berulang. Total jendral ada 8 kali kunjungan. Nggak tiap hari sih, bisa semaput saya, Ibu Haji berbaik hati dengan meminta saya datang tiap dua minggu. Lumayanlah bisa tarik napas dulu. Namun selama masa menunggu, pergelangan tangan harus dibebat. Dua bilah bambu ukuran kecil dan kapas bercampur minyak jadi hiasan yang nggak kalah keren sama gelang.

Minyak bukan minyak goreng ya, apalagi minyak samin. Kan bukan mau goreng ikan atau ayam. Minyaknya pakai minyak cimande yang harumnya aduhai.

20180728_155242

Dan, selama itu pula saya jadi bermusuhan sama laptop dan komputer. Kalau sekadar ngidupin sama matiin sih nggak masalah, tapi....neken tuts itu perjuangan sekali. Pernah nekat karena tuntutan kerjaan. Akibatnya nyeri luar biasa. Berhenti deh. Puasa ngetik lagi. Beruntung saya pasien yang rajin. Hingga ditetapkan sembuh dan tak perlu bersua lagi.

Ternyata bertahun-tahun kemudian, saya kembali ke sini. Tapi kali ini kakak yang jadi pasien.

Karena sudah bertahun-tahun nggak ke H. Nawi, saya harus benar-benar pasang mata. Udah pasang google maps sih, cuma nama jalannya lain. Apakah nama jalan yang berubah atau saya yang lupa. Patokan yang masih nyantol di ingatan cuma jalan ke arah prapanca dan sebuah halte bis di tepi jalan. Pas pulang baru tau kalau ada dua halte bis di sepanjang jalan itu sampai ke perempatan prapanca.

Sempat mau berbelok waktu ngeliat halte bercat hijau di tepi jalan setelah belokan ke arah prapanca. Ternyata salah. Maju lagi. Bersiap menyambut kemacetan di depan. Tetap di kiri jalan biar nggak kelewatan. Lalu mencoba lagi belok kiri setelah kembali melihat sebuah halte. Hore.....bener.

Bergegas menuju rumah berpagar besi warna hitam. Ternyata saya masih ingat rumahnya. Deg-degan karena pagar sudah tertutup. Untung pintunya masih sedikit terbuka. Di pintu terpampang pengumuman kalau layanan berakhir jam 16.00 dan saya datang setelahnya.

Untunglah masih mau melayani. Tak ada suara-suara seru dari dalam ruang perawatan. Berarti nggak parah dong, paling uratnya aja yang bikin masalah. Eh, salah. Kakak keluar dengan sedikit kapas dan perban menyembul dari ujung lengan bajunya yang tergulung. Ternyata balutan itu hingga ke bahunya. Ow, tulang sikunya bergeser. Katanya mau piknik jawabnya ringan. Saya cuma melongo dan mengikutinya.

20180728_155154

Oh ya, selama menunggu saya jadi pengamat saja. Maksudnya melihat sekeliling dengan cermat. Nggak ada yang berubah. Ruang tunggunya tetap agak suram. Bangku-bangku panjang dijajarkan sepanjang dinding dan tepi pagar.

Sebuah meja masih tetap menghuni pojokan. Di atasnya ada buku untuk daftar dan kotak buat menampung uang pendaftaran. Nggak yang menunggu di situ. Modalnya cuma kejujuran para calon pasien. Tulis sendiri nama dan masukkan uang Rp5.000 ke kotaknya, lalu duduk manis.

20180728_155301

Kamar mandi di seberang ruang tunggu juga masih tak berubah. Berukuran besar dengan bak mandi dan sebuah kloset jongkok. Tepat disebelahnya terlihat tumpukan kayu yang meninggi, hampir menyentuh langit-langit. Kayu-kayu inilah yang diolah jadi minyak cimande. Jangan tanya prosesnya ya, karena saya nggak tahu sama sekali. Cuma tau prosesnya dilakukan di ruang sebelah ruang praktek.

Yang saya heran, tepat di ujung ruang inap pasien, selalu ada gerobak tukang bakso lengkap dengan isi dan pedagangnya. Nggak ada penjual lainnya.

Kembali ke kakak yang sudah selesai treatment, rupanya dia diminta kembali lagi. Tapi belum tau berapa kali. Mudah-mudahan nggak perlu delapan kali. Tapi, nggak apa-apa juga sih. Asalkan sembuh dan bisa aktivitas lagi. Sebagai mantan pasien, ciee, saya pesan kalau besok urut lagi pakai ojek saja, nggak usah bawa kendaraan soalnya bakalan rasa nyut-nyut menyerang. Dan si nyut-nyut pun datang menyapa.

Sambil berjalan pulang, saya masih belum menemukan jawaban bagaimana para tenaga ahli ini mendeteksi dan memperbaiki. Tanpa bantuan peralatan modern lho.

Memang sih pengobatan seperti ini sudah ada sejak jaman dahulu kala. Masih banyak orang yang memercayakan dirinya pada kemampuan mereka. Namun menurut saya perlu banget dibarengi dengan pengobatan modern, maksudnya ke dokter. Biar makin afdol kata orang mah.

 

Komentar

  1. Tenyata di jalan H nawi ada ya, Mbak Utari.
    Dulu waktu adik saya jatuh dari motor, itu Talang dua Bogor ke sana lagi. dan memang di sana banyak juga urut tulang. Pakai minyak Cimande juga. kata adik saya, pas diurut, itu Pak Haji-nya kayak memasukan sesuatu. Alhamdulillah datang urut beberapa kali, sembuh.

    Terima kasih infonya, Mbak.

    BalasHapus
  2. Iya pak, sudah lama ada. Kalau ke talang dua jauh pak. Macetnya nggak tahan juga. Alhamdulillah kalau sudah sehat pak.

    BalasHapus

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung ke blog saya. Mohon tidak membagikan tautan disini. Silahkan meninggalkan komentar yang baik dan sopan.