Melihat Acara Mandi Sungai Riam di Cemapaka

Tantangan 3

Warisan

Ketika seseorang kembali kepangkuan-Nya, selalu ada yang ditinggalkan. Setidaknya sepotong kenangan yang akan selalu diingat.

Demikian juga saat ibunda kembali menghadap-Nya, tak hanya kenangan yang tetap tersimpan dalam otak kecil kami, tetapi juga beberapa bunga anggrek yang bermekaran. Mereka seperti tahu dan mengantar kepergian pemiliknya dengan indah. Seraya menghibur kami bahwa kehidupan akan ada dan indah pada waktunya.

Dulu, tak pernah saya bersusah payah mengurusi gerombolan anggrek ini. Namun sekarang tidak lagi. Dari semula hanya sekadar menyirami, pelan-pelan saya seperti melebur dan menjadi satu dengan tumbuhan ini. 
Saya telah jatuh cinta.

Perhatian dan kasih sayang tercurah demikian deras. Layaknya ibu pada anaknya. Ketika sebuah tunas tumbuh, bahagianya luar biasa. Apalagi saat mereka berbunga, hati ikut berbunga-bunga saking bahagianya. 

Sesekali kesedihan ikut menyapa, saat sebatang tanaman tumbuh tak sempurna. Padahal tidak ada perbedaan ketika merawatnya. Inilah ujian kesabaran yang harus dilewati, mampukah saya membuatnya pulih kembali, atau harus rela melepasnya pergi. 

Suka duka mengurusi anggrek-anggrek ini rupanya telah mengayakan hidup saya. Bersyukurlah atas semua karunia dan berusahalah tanpa mengenal kata putus asa.

 

Harapan

Cenat cenut kepala si abang
Sungguh bingung bukan kepalang
Dipegangnya lembaran kecokelatan
Hendak dibuka, namun dibatalkan
Dirabanya dua potogan kecokelatan
Lembaran penghangat yang sudah ditempelkan

Tepat di dahi abang tersayang
Sayang, rasa hangat tak ampuh benar
Meniadakan kegundahan
Gara-gara kakaktua kesayangan
Bersuara tak sesuai harapan
Bukan salam yang diperdengarkan
Melainkan kotek ayam peliharaan
Salahnya juga menempatkan 
Tepat disamping kandang ayam
Hilang sudah harapan meraih keuntungan

Akan tawaran seorang teman
Jika si burung dapat mengucapkan salam.



Jika -- 

Bagaimana jika hujan tidak lagi datang? Keluhku dalam hati ketika duduk diteras. Siang pasti akan terang benderang, seperti beberapa hari ini. Padahal, katanya ya, katanya, sekarang masih musim penghujan. Tapi kok, matahari lebih dominan.

Kalau begini, bagaimana nasib si pohon itu ya. Pohon apel india yang kata orang itu pohon bidara. Ampuh buat mengusir hal-hal tak kasat mata. Aku sih tidak ambil pusing waktu membelinya di penjual tanaman. Waktu itu yang terpikir hanyalah ada pohon peneduh di halaman.

Tetapi oh tetapi, kenapa bentuknya tak karuan. Tidak meninggi malah kesamping ya? Akibatnya dia harus ditopang agar tak rebah mencium tanah.

Perkara bersentuhan dengan tanah, aku ingat dua kali sudah kejadiannya. Gara-gara hujan dan angin lumayan menggila. Berubahlah si pohon menjadi layang-layang raksasa. Meliuk-liuk tak tentu arah. Lalu terjerembab begitu rupa.

Mau tidak mau ku pangkas saja semua ranting dan dahannya. Menyisakan sedikit saja dedaunan yang jadi dapurnya. Malang oh malang dapur itu menghilang disantap sekawanan ulat. Ini juga alasan mengapa aku membabat habis dedaunannya.

Hujan telah menyukacitakan para tunas. Melahirkan daun baru nan lezat. Tak salah kalau akhirnya jadi naungan para ulat. Ih....geli aku membayangkannya. 
Bagaimana jika ulat-ulat itu tak ada. Pastilah daun-daun akan tetap meneduhi secuil halaman di depan rumah.


Pagar

"Pak, itu buat apa?" Tanya ibu sambil melirik tumpukan kayu di bawah pohon.

"Kayu bu, buat pagar" "Kok kayu sih?" Suara ibu mulai terdengar agak sinis.

"Itu kayu ulin lho Bu. Kuat, tahan air, awet tenan, " balas Bapak sambil mengintip dari balik kacamatanya.

"Iya, tau. Tapi kenapa pendek-pendek?" Sahut Ibu seraya berbagi senyum pada Mbok Narti penjaja jamu. 

Bapak tersenyum. "Memang kurang tinggi ya? Semeter cukuplah, Bu."

Ibu memandang Bapak seperti tak percaya. Semeter. Tingginya semeter. "Bapak ini gimana toh, segitu ya diloncati orang. Harusnya lebih tinggi biar orang nggak bisa masuk!" Semburnya kesal.

Lagi-lagi Bapak tersenyum. Sama sekali tidak terpancing dengan kemarahan sang istri. "Ya sudah. Nanti Bapak ganti yang tingginya serumah."

"Nah, itu baru betul!" Suara Ibu terdengar puas.

"Tapi nanti jangan marah kalau Ibu nggak bisa ngobrol jarak jauh sama Bu Imah. Nggak bisa nyuruh tukanv sayur antarkan bumbu dapur. Nggak tau Mbok Narti sudah lewat apa belum," sahut Bapak santai.

Ibu terdiam seperti diingatkan. Betapa selama ini dia bisa menikmati keakraban tanpa halangan.

 "Bu, pagar itu cuma hiasan. Bukan penghalang buat orang berbuat jahat. Mau pagar setinggi apa pun, atasnya dikasih beling ya tetap diloncati karena niatnya begitu. Kebalikannya, sependek apa pun pagar kalau tidak ada yang punya niat aneh, ya nggak ada yang loncat. Pasti lewat pintu."

Ibu manggut-manggut. Diambilnya cangkir berisi teh hangat dan dinikmatinya panggung terbuka dihadapannya. 

Pagar yang nanti akan dibuat bukanlah pembatas, hanya penghias penambah semarak panggung yang ada.



rindu -

- Kamu tahu, hujan turun sejak semalam. Sampai sekarang belum juga hilang. Memang sih sudah tak dasyat lagi. Tapi bikin aku merindumu, menginginkanmu. Sungguh.

Rasanya sungguh mengharubiru. Namun, aku tak berani menemuimu. Hanya sanggup hilir mudik di depan rumahmu. Pasti kamu nggak tau, sebab aku tak menghampirimu. Cuma berani melihatmu dari kejauhan.

Masih lama aku bisa menikmatimu, lagi. Sampai masa itu tiba, aku hanya bisa menahan diri. Karena aku tak mau typus ini terulang lagi.


Komentar

  1. Anggreknya cantik sekali, Mbak...belum pernah punya Anggrek. Nggak pede mau beli karena tanaman biasa aja jarang sukses buat merawatnya...hiks

    BalasHapus
    Balasan
    1. jangan sedih mbak, dicoba lagi. siapa tau nanti berhasil. bunga-bunganya bermekaran. pasti seneng lihat kembang di halaman.

      Hapus
  2. Wahhh mantep, seperti sedang membaca puisii yang berirama ya wuehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih mas Bepe, ini tulisan hasil ikut tantangan di 30 hari bercerita. nulisnya di instagram. kok sayang kalau dibiarkan begitu saja, makanya saya simpan di blog. sekalian pengingat pernah ikutan tantangan ini.

      Hapus
  3. Bener lho, anggrek itu bisa bikin kaya. Jadi inget teman waktu di SMA, ibunya bisnis anggrek, awal menanam cuma di belakang rumah. 5 tahun kemudian udah punya lahan sendiri, luas banget 😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah, lahan anggrek seluas itu. haduh saya bisa lupa diri mbak. sekarang baru punya 15 pot aja udah senang banget.

      Hapus

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung ke blog saya. Mohon tidak membagikan tautan disini. Silahkan meninggalkan komentar yang baik dan sopan.