Melihat Acara Mandi Sungai Riam di Cemapaka

Mendulang intan menjaga tradisi masa silam

Petualangan siang hari. Masih menyusuri kawasan Cempaka, namun ke tempat yang berbeda. Kali ini menyambangi para pendulang intan di daerah Pumpung Kelurahan Sungai Tiung, Kecamatan Cempaka. 

Pendulang intan
Panas pun tetap mendulang


Kawasan ini sangat dikenal karena merupakan area penambangan intan tradisional. Entah sejak kapan para pencari intan memulai kegiatannya Namun yang pasti aktivitas mendulang telah merasuk ke dalam jiwa masyarakat Pumpung. 

Gelora pendulangan intan semakin menggelegak setelah intan berukuran besar ditemukan pada 26 Agustus 1965. Tidak main-main, ukurannya mencapai 166,75 karat atau sekitar 33,2 gram. 

 Begitu besarnya sampai dinobatkan sebagai intan terbesar di Kalimantan. Sebagai penghargaan, Presiden Ir. Soekarno menganugerahi nama Intan Trisakti. 

Untuk mengenang peristiwa bersejarah tersebut, Gubernur Kdh Tk I Kalimantan Selatan, Drs. H. Gusti Hasan Aman membangun monumen Tugu Intan Trisakti dan diresmikan pada 11 November 1997. 

Alat sederhana berbahan rotan 

Saya memang telah melewati tugu itu. Namun belum, saya belum melihat area pendulangan intan. Saya justru memulai petualangan di Pumpung dengan mengunjungi seorang pembuat peralatan penunjang pekerjaan para pendulang. 

Ayakan untuk memisahkan batu
Ayakan rotan untuk memisahkan batu dan pasir.


Waktu pertama mendapat cerita soal peralatan yang digunakan para pendulang, saya belum bisa membayangkan bentuk dan rupanya. Hanya tahu dibuat dari rotan. 

Saya juga enggan membayangkan karena pasti akan berbeda jauh dari perkiraan. Siang yang terik ini, saya mendapat jawab dari informasi yang diberikan. Di hadapan kini teronggok beberapa peralatan yang dipakai oleh para penambang. Bentuk alat-alat itu sederhana saja. 

Namun jangan terkecoh dengan rupanya, terutama jika melihat kejauhan, sebab alat itu terbuat dari rotan yang memiliki kekuatan dan daya tahan. 

Angkatan untuk mengangkat material
Angkatan untuk mengangkat tanah dari lubang galian.


Kalau boleh jujur, saya sempat teperdaya waktu melihatnya tergantung di teras sebuah warung di tepi jalan. Pasti alat menyerupai setengah lingkaran itu terbuat dari bilah bambu, pikir saya. Ternyata, keseluruhan alat terbuat dari rotan. Kai Masdan pembuatnya. Ia sepenuhnya mengolah dengan tangan. 

Ada sih alat bantu, hanya sebuah pisang tajam bergagang panjang. Selebihnya, Kai mengandalkan kekuatan tangan dan kaki. Takjub. Bagaimana kakek berusia 75 tahun itu dengan mudah membulatkan rotan dengan tangan dan kaki. 

Rotan ini akan dijadikan tepi angkatan dan ayakan. Rotan bulat itu hanya untuk bagian tepi alias bingkai bagi bidang utama yang dibuat dari rotan tipis. Lagi-lagi proses menipiskan rotan dilakukan sendiri dengan bantuan pisau bergagang panjang. 

Kai masdan pembuat alat pendulang
Kai Masdan pembuat alat pendulang


Bilah-bilah rotan ini diserut agar tak tajam dan mudah dibengkokkan. Semuanya lagi-lagi mengandalkan tangan. Bila bilah-bilah rotan telah selesai dibuat, barulah proses menganyam dimulai. Satu per satu bilah disusun lalu diselipkan tali sebagai pengikat.  

Hm, talinya ada dua macam. Untuk angkatan berukuran kecil, Kai Masdan memilih menggunakan tali plastik besar yang lagi-lagi disayat tipis. Jika angkatan berukuran besar, barulah menggunakan tali besar atau tali yang menyerupai sedotan sebab memiliki rongga. 

 Kedua alat inilah yang dipakai pendulang saat menggali lubang. Secara estafet material dari dalam lubang dikeluarkan untuk dipisahkan dengan ayakan. 

Disemat intan 

Batu-batu berukuran sedang itu akan disisihkan, sementara pasir kembali di ayak dengan alat dari kayu. Proses mengayaknya sepertinya mudah, cukup digoyang-goyang seperti tengah mengayak tepung. 

Namun selama proses mengayak, pendulang akan duduk berendam dalam air. Sangat tak mungkin melakukannya di darat sebab alat pendulang cukup besar dan berat. Air pun harus berulang kali ditambahkan ke dalam pendulang agar pasir bisa terayak. 

Jika beruntung setitik kilau yang tampak menandakan sang pendulang mendapat hasil. Jika intan yang diperoleh berukuran kecil, pendulang akan menyisipkannya di alat pendulang dengan cara memukulnya dengan batu.

Alat pendulang intan
Alat pendulang intan dari kayu


Cara ini memudahkan karena pendulang tak perlu kuatir intan yang diperolehnya hilang. Semakin banyak intan yang di dapat, semakin terlihat deretan kilau di alat pendulang. Terbayang seperti apa pantulannya saat terkena matahari. Pasti indah sekali. Intan-intan ini dikeluarkan saat tiba di rumah lalu dijual dengan harga terjangkau. 

Kabarnya untuk dipakai sebagai susuk atau ditanamkan di bagian depan rumah. Entah untuk apa. Bagaimana jika ukuran intan cukup besar. Tentu tak mungkin disisipkan di alat pendulang. 

Intan ini akan ditaruh di lubang yang sengaja dibuat. Dahulu, ada kepercayaan kalau alat pendulang akan berbau harum jika lubang penyimpan intan ini dibuat oleh seorang perempuan yang tengah hamil muda anak pertamanya. Di lubang inilah intan diselipkan. 

Tak perlu kuatir intan terlepas karena akan direkatkan dengan perekat alami dari sarang lebah kelulut. Memang saat ini sangat sulit mendapat intan berukuran besar. 

Masa kejayaan sepertinya telah lewat. Namun para pendulang intan tetap setia menjalani pekerjaan sekaligus menjaga tradisi dan budaya mereka. Setiap hari mereka tetap mendulang di tepi lubang galian yang telah ditinggalkan. Demi sebuah intan dan harapan akan masa depan yang berkilauan, layaknya intan.

Komentar