Keraton Surasowan dan Fort Diamant (dok. pribadi) |
Masyarakat mungkin sudah cukup akrab dengan kata
“Cagar Budaya”. Namun sebenarnya masih banyak yang belum mengerti tentang Cagar
Budaya. Bagaimana sebuah Cagar Budaya ditetapkan ternyata memerlukan proses
yang berjenjang.
Kereta api lokal Merak baru saja berlalu dari Stasiun
Karangantu. Tidak banyak penumpang yang turun dan naik kereta api. Mungkin
karena hari masih belum terang benar. Sembari membuka gawai, saya memandang
sekeliling stasiun. Bangunannya memiliki dinding tebal dan jendela besar. Pada
tembok luar bagian bawah dilapisi batu-batu kerikil halus. Ketinggiannya
sekitar satu meter. Dapat ditebak kalau Stasiun Karangantu dibangun pada masa
pemerintahan Belanda.
Masih pukul 06.10 wib. Cukup waktu untuk mengecek
letak Keraton Surosowan di peta digital. Ternyata lokasinya tidak terlalu jauh,
sekitar 500 meter dari stasiun. Saya hanya perlu berjalan santai melewati jalan
kecil di samping sebuah warung sembako.
Tidak sampai lima belas menit saya sudah berada di
tepi sungai. Terlihat sebuah bangunan cukup besar berwarna gelap. Sepertinya
bagian dari sebuah benteng. Lagi-lagi saya mengecek gawai, belum ada pesan
masuk. Artinya saya harus menunggu. Jadilah pagi itu saya menikmati keindahan
pagi di pelataran kawasan Cagar Budaya.
Keraton Surasowan
Sebenarnya saya tidak suka meluruskan kaki, ingin
rasanya menjelajah. Kawasan Cagar Budaya ini begitu menggoda. Tetapi saya
menahan diri, menunggu kabar tentang titik temu dengan Tim Ahli Cagar Budaya
agar tidak kelelahan berjalan mengitari kawasan seluas tiga hektar, setara dengan 4 kali luas lapangan
bola. Lumayankan.
Hari ini saya dan Tim Ahli Cagar Budaya berencana
melakukan kajian pada sisa reruntuhan Keraton Surosowan di Kota Serang, Banten.
Kajian ini atau studi lapangan dilakukan untuk mempelajari apakah reruntuhan
ini layak diajukan sebagai Cagar Budaya tingkat Kabupaten/Kota.
Proses mengkaji baru berjalan setelah dinas atau
pemerintah kota mengajukan usulan. Usulan juga dapat berasal dari masyarakat
melalui dinas setempat.
Ting. Sebuah pesan masuk. Titik kumpul sudah
ditetapkan. Patokannya adalah pohon besar yang berada di muka Museum Banten
Lama. Meski tidak tahu tempatnya, saya mengikuti jalan menuju benteng, jalan
sebaliknya mengarah ke luar kawasan.
Tebak-tebakan
Sebelum pukul 07.00 wib, saya dan Tim Ahli Cagar
Budaya serta tiga orang mahasiswa sudah berdiri di atas reruntuhan bangunan.
Keraton Surosowan itu memang sudah tidak berdiri tegak. Hanya tersisa
reruntuhan berupa pondasi yang disusun dari batu bata.
Kami melakukan pengamatan sambil berjalan pelan. Entah
berapa kali langkah terhenti. Melihat, meraba, mengukur, dan memotret bentuk
lengkung serta tembok yang berada pada bagian depan Keraton Surosowan.
Terlihat batu bata merupakan material utama pembuatan
Keraton Surosowan. Material lain yang dipakai adalah karang dan tanah. Batu
bata ini dijumpai di seluruh bagian keraton dan Fort Diamant, bahkan di
kolam Rara Denok yang berada di kiri keraron pun menggunakan batu bata. Sampai
saat ini bentuk kolam terbilang utuh dan tidak mengalami kerusakan yang parah.
Pengukuran di Keraton Surasowan (dok. pribadi) |
Tidak ada perdebatan seputar fungsi kolam Rara Denok,
diskusi hangat justru terjadi pada reruntuhan keraton. Apakah reruntuhan
berbentuk persegi panjang dengan tangga berbentuk melengkung merupakan
Srimaganti atau tempat Sultan menerima tamu? Lalu reruntuhan persegi panjang di
sebelahnya adalah dapur untuk para abdi menyiapkan makanan dan minuman?
Setiap orang dapat mengajukan pendapat. Tidak ada yang
menyalahkan karena kemungkinan selalu ada. Main tebak-tebakan membuat kegiatan
pengkajian menjadi menyenangkan.
Fort Diamant
Kajian kembali berlanjut ke Fort Diamant yang
mengelilingi Keraton Surosowan. Dahulu, benteng ini untuk melindungi keraton
dari serangan musuh. Bentengnya sangat besar. Tebal temboknya saja tidak
main-main. Paling tipis saja lebarnya tiga meter dan paling tebal mencapai
tujuh meter.
Ketebalan tembok diperoleh dengan cara menempatkan
tanah dibagian tengah tembok. Untuk sisi luar benteng memanfaatkan batu karang.
Sisi dalamnya menggunakan batu bata.
Saya dan Tim Ahli Cagar Budaya berjalan menyusuri
benteng. Rupanya pada setiap sisi benteng terdapat bastion atau tempat
untuk mengamati musuh. Bentuknya menyerupai potongan intan.
Tembok bastion termasuk masih utuh sehingga
terlihat jelas ceruk-ceruk atau lubang untuk meletakan meriam. Tepat di bawah bastion
terdapat ruang penyimpanan senjata. Ada tangga untuk menghubungi bagian atas bastion
dengan ruang penyimpanan.
Tunggu! Lubang apa ini? Letaknya berderet tidak jauh
dari anak tangga paling atas? Apakah mungkin lubang-lubang ini untuk
menancapkan panji-panji atau bendera kesultanan? Panji-panji yang mampu
membakar semangat juang para prajurit saat berperang.
Menjelang tengah hari kajiaan selesai. Data lapangan,
foto untuk dokumentasi dan ukuran sudah ditangan. Saatnya melangkah ke tahap
berikutnya yaitu diskusi. Tentu saja tempatnya tidak di Keraton Surasowan
karena panas.
Benda, Bangunan, Situs, Kawasan
Diskusi berlangsung beberapa kali. Beradu argumen
berdasarkan data tertulis yang berasal dari jurnal atau tulisan ilmiah, buku,
lukisan, dan peta lama. Dari berbagai riset dan informasi mengenai Keraton
Surasowan barulah Tim Ahli Cagar Budaya mengajukan usulan kepada pemerintah
setempat untuk menetapkan Keraton Surosuwan sebagai Situs Cagar Budaya.
Keraton Surosowan dinyatakan memenuhi kriteria sebagai
Cagar Budaya karena:
1. Berusia
50 tahun atau lebih
2. Mewakili
masa gaya paling singkat berusia 50 tahun.
3. Memiliki
arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan/atau kebudayaan.
4. Memiliki
nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.
Proses untuk menentukan apakah sebuah benda, bangunan,
atau reruntuhan layak dinyatakan sebagai Cagar Budaya memang tidak mudah. Hal
ini dapat dimengerti karena Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat
kebendaan berupaa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Stuktur Cagar
Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat/atau di air yang
perlu dilestarikan keberadaanya karena memiliki nilai penting bagi sejarah,
ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.
Lantas apa saja yang dapat dijadikan Cagar Budaya?
Apakah hanya sesuatu yang dapat dipegang yang bisa dijadikan Cagar Budaya?
Tidak. Cagar Budaya dapat bersifat tangible
atau memiliki wujud, dapat dilihat, diraba, mempunyai massa dan dimensi yang
nyata seperti Keraton Surosowan. Cagar Budaya juga dapat bersifat intangible
atau tidak memiliki wujud atau tak benda seperti pantun atau dongeng.
Nah, kalau teman-teman pernah mendengar masinis atau
pramugari membacakan pantun ketika pesawat akan mendarat, secara tidak langsung
tengah disuguhkan oleh sebuah Cagar Budaya tak benda.
Kembali ke Keraton Surasowan yang menunggu untuk
ditetapkan sebagai Cagar Budaya tingkat Kota oleh Walikota. Nanti peringkatnya
bisa berubah menjadi peringkat Provinsi dan peringkat nasional. Upaya yang
perlu dukungan dari berbagai pihak, termasuk dari saya, teman-teman, saudara,
tetangga, dan semua orang. Jangan sampai jejak budaya bangsa hilang dan musnah
karena rasa abai menjaga keberadaannya.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung ke blog saya. Mohon tidak membagikan tautan disini. Silahkan meninggalkan komentar yang baik dan sopan.