Melihat Museum Mandiri, Saat Ini.

 

Museum Mandiri
Museum Mandiri (foto: Laila)

 

Lepas tengah hari, saya menginjakkan kaki kembali di gedung besar berwarna putih. Bangunan besar yang dikenal sebagai Museum Mandiri itu telah (sudah) empat kali saya datangi. Tentu saja waktunya berbeda-beda. Dan, sampai saat ini saya masih kagum akan keberadaannya.

Mungkin teman-teman heran, kok saya berulang kali main ke Museum Mandiri. Sini-sini saya kasih tahu. Pertama, museum ini letaknya strategis, tepat di depan Stasiun Kota atau di jalan Lapangan Stasiun No. 1, Jakarta Barat. Kedua, tiketnya sangat-sangat terjangkau. Untuk dewasa cukup membayar Rp5.000,00. Ketiga, ada kaca patri yang keren banget. Keempat, saya suka jalan-jalan.

Meski suka main ke sini, saya selalu mendapati hal baru, terutama dengan penataan koleksinya. Untuk bangunannya masih tetap sama. Sebuah bangunan besar dan kokoh, bertembok tebal khas bangunan peninggalan masa kolonial. Sebenarnya melihat strukturnya saja sudah asyik, tapi jelas lebih keren melihat koleksinya.

Seperti apa sih bagian dalam Museum Mandiri? Ayo kita masuk. Tapi, jangan lupa beli tiket dulu.

Setelah beli tiket, saatnya menjelajahi ruangan utama yang besar dan luas. Ruangan ini adem meski tanpa AC. Angin bebas keluar masuk melalui kisi-kisi jendela. Sambil jalan, tolong hidupkan ruang imajinasi ya untuk membayangkan kegiatan perbankan di masa lalu.

Dulu, para teller yang berasal warga Tionghoa akan melayani nasabah secara langsung. Mereka akan duduk bersama di meja besar. Nanti uang yang disetor akan ditulis di buku besar. Uangnya disimpan di ruang brankas.

Agar transaksi berlangsung dengan aman, ruangan diberi jeruji besi. Jerujinya masih ada sampai sekarang. Warnanya hitam dan cukup tebal.

Dari masa lalu, waktunya untuk menuju masa depan. Perbankan di Indonesia pun berkembang. Beberapa bank melakukan merger dan menjadi Bank Mandiri. Meski begitu jejak perjalanannya masih bisa dilihat dari penjelasan dan koleksi mesin ATM dan media penyimpanan data yang serupa lemari. Perjalanan ini tersaji di ruangan yang ada di belakang area pelayanan nasabah.

Penjelajahan di lantai satu sudah selesai, tapi perjalanan belum usai. Masih ada lantai dasar dan lantai atas. Baiknya melihat lantai dasar dulu ya.

Untuk mencapai lantai dasar, pengunjung harus menuruni tangga dan tampaklah beragam bentuk brankas. Lemari besi beraneka ukuran itu berasal dari beberapa masa. Ada brankas dari masa pemerintahan Belanda hingga jaman kemerdekaan.

Di lantai ini ada ruang-ruang yang berisi meja dan kursi. Di sinilah nasabah (prioritas) meletakkan barang berharganya di wadah khsusus. Nanti wadah ini akan disimpan oleh petugas di ruang save deposit box.

Ada emas batangan juga yang saat ini lagi naik daun. Kilaunya itu benar-benar menggoda, meskipun emasnya palsu. Ada juga yang asli yaitu uang kertas dan koin. Alat transaksi ini pernah digunakan di Indonesia. Hm, saya jadi teringat masa lalu waktu menerima uang bergambar orang utan. Seketika saya merasa keren banget.

Rasa keren itu masih melekat dan tidak hilang saat berada di lantai atas. Sampai sekarang saya masih mengagumi keindahan lukisan kaca patri. Jendela istimewa ini bercerita tentang empat musim di Belanda. Inilah pengobat rindu bagi para pekerja Belanda yang bekerja di NHM Batavia.

Kisah Masa Lalu

Dari depan jendela kaca yang indah ini, bolehkah melihat ke belakang. Kembali ke keriuhan para pekerja melayani nasabah. Bahkan jauh ke masa di mana gedung ini menjalani aktivitas perdagangan.

Dahulu gedung ini milik perusahaan Belanda yaitu Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM). Perusahaan yang beroperasi pada 1826 itu berkembang pesat hingga merambah ke bisnis perbankan. Tentunya perluasan ini membutuhkan gedung baru yang lebih representatif. Maka dibangunlah gedung baru nan megah.

Kolaborasi antara Cornelis Van De Linde dan Anthonie Pieter Smits serta J.J.J de Bruijn berhasil membangun gedung yang diinginkan. Butuh empat tahun sejak dilakukan peletakan batu pertama pada 3 Oktober 1929 hingga akhirnya diresmikan sebagai Kantor Wilayah NHM di Asia. Nama yang disematkan pada perusahaan ini adalah Factorij Batavia. 14 Januari 1933 menjadi momen istimewa karena Presiden Factorij, Barend Hagenzieker meresmikan gedung ini.

Gedung bercat putih ini sangat luas, mencapai 10.039 m2 dengan taman di bagian tengah. Tentu saja sirkulasi udara gedung ini menjadi lancar. Udara pun mengalir bebas ke empat lantai gedung yaitu Souterrain (lantai bawah), Begane Ground (lantai dasar), EersteVerdieping (lantai 1), dan Tweede Verdieping (lantai 2).

Aktivitas perusahaan besar itu berakhir pada 1960 saat pemerintah melakukan nasionalisasi perusahaan asing. Pengelolaan gedung pun diserahkan kepada Bank Koperasi Tani dan Nelayan (BKTN). Lima tahun kemudian BKTN diintegrasikan ke dalam Bank Indonesia menjadi BI urusan Koperasi Tani dan Nelayan.

Perubahan kembali terjadi di era bank tunggal, BI Urusan Koperasi dan Nelayan berganti nama menjadi Bank Negara Indonesia (BNI) Unit II. Perubahan kembali terjadi saat era bank tunggal terjadi sehingga nama BNI Unit II berganti menjadi Bank Ekspor Impor Indonesia (Bank Exim). Pergantian wajah kembali terjadi hingga akhirnya gedung besar ini menjadi Museum Mandiri dan dibuka untuk umum pada 2005 hingga sekarang.

 

 

 

 

 

 

 

Komentar