![]() |
Matcha hangat di Four Nine Cafe (dok. pribadi) |
Ketika dilihat di peta, jaraknya tidak sampai 2 km saja. Beberapa teman yang sudah pernah berkegiatan di sana pun dengan senang hati memberi arahan. Mereka tahu, saya jarang sekali duduk-duduk untuk melepas penat dan menikmati waktu. Bukannya nggak mau, tapi waktunya yang memang sulit untuk dicari.
Karena rapat itu juga harus dihadiri oleh tim kantor, jadilah saya tidak jadi pergi sendiri tapi ditemani oleh dua orang teman. Kami sepakat menggunakan dua motor sehingga bisa langsung pulang. Agar tidak menghabiskan waktu, kami sengaja berdiri di depan mesin absen agar bisa segera meninggalkan kantor ketika waktunya tiba.
Merasa letak cafe tidak terlalu jauh dan sudah memberikan peta jalan pada teman, saya tidak memasang peta untuk panduan. Sepanjang jalan pun diisi dengan perbincangan ringan. Sore itu jalanan masih belum terlalu ramai, orang-orang masih belum melewati jalan tersebut.
Sambil terus berbincang, motor yang dikendarai oleh teman segera berbelok untuk masuk ke jalan di sebelah minimarket. Saya mulai heran, tapi saya ingat kalau teman memberitahu bahwa jalan menuju cafe itu berbelok-belok karena berada di dalam komplek.
Benar, jalan yang kami lalui merupakan jalan komplek. Peta menuju cafe juga sudah saya aktifkan untuk berjaga-jaga. Alur jalan yang kami lalui sudah benar. Hingga, jalan yang ada di depan terrlihat sangat kecil, seperti jalan tikus.
Lalu tidak jauh dari tempat kami berada, terlihat pohon-pohon besar dan ilalang. Memang masih ada jalan tanah yang hanya dilintasi oleh motor. Cuma perasaan kok sudah nggak enak. Namun arah yang dilalui dan jalur di peta tidak berbeda. Artinya jalan yang kami lewati benar.
Laju motor terhenti tidak jauh dari pepohon besar. Tawa kami mulai terdengar saat menyadari apa yang tampak di depan. Sepasang suami istri yang tengah membersihkan area di bawah pohon terkejut dan menghampiri. Beliau menyadari kalau kami tersasar.
Ya, kami tersasar ke pemakaman.
Dengan suara cukup keras, agar kami mendengar perkataannya, bapak itu menunjukkan jalan yang harus kami lalui. Beliau mengarahkan agar kami mengambil jalan lurus, jalan tanah, lalu berbelok ke kiri, tepat di komplek yang akan kami masuki.
Tentu saja kami sangat berterima kasih atas kebaikan bapak tersebut. Selanjutnya, meneruskan perjalanan yang sudah sangat, sangat dekat.
Akhirnya kami sampai. Tawa saya meledak begitu turun dari motor. Rasanya lucu sekali. Bagaimana mungkin ke tempat yang dekat, kami bisa nyasar ke tempat yang nggak banget.
Secangkir Matcha
Masih dengan tawa geli, saya melangkah masuk ke dalam tempat pertemuan di Four Nine Cafe. Tangan saya dengan cekatan mendorong pintu kaca yang membatasi area luar dan dalam cafe. Cafe ini terlihat terbuka dan terang karena jendela kaca besar.
Masuknya cahaya matahari membuat bagian dalam cafe tampak terang. Pemakaian lampu terlihat di sisi ujung ruangan yang terlindungi oleh tembok. Di sana beberapa meja kursi tersedia untuk pengunjung. Ruangan ini bebas asap rokok.
Peletakan meja saji di dekat pintu masuk memudahkan pengunjung untuk memesan makanan dan minuman. Itulah yang saya lakukan sebelum menemui teman-teman yang berada di area luar yang terbuka.
Dari daftar menu yang diletakan di dekat meja kasir, saya mengetahui kalau tempat ini tidak cuma menyajikan kopi. Ada beberapa minuman non kopi yang bisa dipilih, bisa berupa teh atau moctail series. Sore itu saya ingin menikmati sesuatu yang hangat, jadi pilihan jatuh ke matcha hangat.
Bagaimana dengan makanannya?
Tentu menikmati kopi akan sangat menyenangkan jika ditemani sepiring camilan. Sebut saja lava toast yang menggiurkan. Atau mau semangkuk nasi dengan potongan ayam dengan saus yang menggiurkan? Hm, tawaran yang menarikkan?
Untuk secangkir matcha hangat, rasanya toast jadi pilihan tepat. Paduannya jadi amunisi untuk mengikuti perbincangan dengan teman-teman.
Usai memesan, saya menuju area luar yang terbuka. Tanpa atap agar angin bisa menari dengan leluasa. Inilah tempat nyaman untuk para pengunjung menghabiskan waktu. Berbincang sambil duduk di bangku-bangku berwarna abu-abu dari beton.
Di atas kursi besi itulah perbincangan bergulir hingga matahari pun meredup. Pertanda saya harus menginggalkan Cafe yang berada di Jalan Panggung Jati, Taktakan, Kota Serang.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung ke blog saya. Mohon tidak membagikan tautan disini. Silahkan meninggalkan komentar yang baik dan sopan.