Susur Mata Air di Ciomas. Licin, Terpeleset, Menyenangkan.

Susur mata air Ciomas (dok: Yuni)

Mata ini menyipit, berusaha menahan silau mentari yang tengah memberi kegembiraan untuk semua makhluk hidup. Sinarnya terasa begitu terang meski waktu masih menunjukan pukul 08.00 WIB. Topi kain berwarna merah dengan corak putih seakan tidak mampu menepis cahaya mentari. Lebih baik menepi dulu ke teras bangunan museum Golok Ciomas agar terlindung dari panasnya mentari.

Dari teras bangunan yang berada di tepi lapangan, saya bisa melihat beberapa bapak-bapak tengah bekerja bakti membersihkan pinggir lapangan. Pinggiran itu berundak-undak, menyerupai susunan bangku di sebuah stadion. Bedanya, bagian atas undak-undakan ini hanya berlapiskan semen yang telah rusak di beberapa tempat. Dari celah ini tumbuhlah rumput yang memberi warna pada tepi lapangan Ciomas.

Sedang asyik-asyiknya melihat para warga kerja bakti, tiba-tiba sebuah motor berhanti tidak jauh dari museum. Pria berpakaian hitam dengan udeng melilit di kepalanya berjalan mendekati museum. Saya dan teman-teman segera menghampiri dan satu persatu menjabat tangannya. Dia adalah pemimpin daerah ini.  Tidak lama kemudian, muncul sebuah motor yang ditumpangi oleh dua orang laki-laki. Pengemudinya menggunakan udeng berwarna hitam sedangkan pria yang dibonceng memakai peci. 

Sebenarnya pria berudang hitam itu yang saya dan teman-teman tunggu. Kehadiran pemimpin daerah justru sangat mengejutkan saya sebab tidak menyangka beliau tahu dan ikut serta dalam kegiatan susur mata air di Ciomas. Tentu saja hal ini sangat menyenangkan sebab menjadi tanda bahwa beliau peduli dengan budaya dan kondisi mata air yang ada di wilayahnya.

Menyadari kalau cahaya matahari semakin garang, semua segera berkumpul dan berdoa. Memohon perlindungan dan kemudahan dari pemilik hidup agar kegiatan berjalan lancar, baik, dan selamat. Sekarang rombongan berjumlah 18 orang itu sudah siap mengikuti susur mata air di Ciomas. 

Rombongan mulai bergerak dipimpin oleh pria berkopiah hitam. Langkahnya stabil dan mantap menapaki jalan beton dan aspal. Saya dan teman-teman seperti dikomando segera membuat barisan dan mengekor si bapak. Saya berjalan di tengah, menjajari pria berudeng hitam yang dikenal dengan panggilan Ki Suna.

"Nanti kita lihat tujuh sumber mata air Ciomas. Jarak antar mata air ada yang dekat, ada juga yang jauh," jelasnya ketika saya bertanya tentang mata air yang akan didatangi.

Sambil terus berjalan, pria berambut panjang itu memberi tahu bahwa sumber mata air tersebut memiliki arti penting bagi warga Ciomas. Selain menyediakan air bersih, keberadaan mata air itu erat kaitannya dengan ritual penjamasan golok Ciomas yang dilakukan setiap tahun.

Saat itu air yang dibawa dari seluruh mata air yang berjumlah sembilan dikumpulkan pada sebuah wadah. Air bening itu akan digunakan untuk mencuci dan membersihkan golok Ciomas. Saat itu tidak sedikit para pemilik golok datang dan menitipkan goloknya untuk dibersihkan. Ritual ini biasa dilakukan pada 12 Rabiul Awal

7 mata air

Tidak sampai 500 meter, rombongan berbelok ke kanan. Jalanan beton pun mulai berganti dengan jalan tanah yang dinaungi pepohonan. Perjalanan masih menyenangkan karena jalan tidak terlalu licin. Tiba-tiba, barisan di depan saya berhenti. Rupanya terjadi antrean agar bisa turun ke sumber mata air pertama yang dikenal dengan sebutan Ci Bunut

Sumber mata air ini terlihat jernih. Posisinya seperti diapit oleh batu besar. Untuk mendekat, saya harus melewati batu-batu yang berada di sekitarnya. Posisi batu-batu tersebut berdekatan sehingga saya bisa melewatinya dengan mudah. 

Dari sumber mata air pertama, saya berpindah ke sumber mata air kedua yang berada tidak jauh dari sumber mata air pertama. Letaknya bahkan ada di belakang saya. 

Dibanding sumber mata air pertama, sumber mata air pertama yang dikenal dengan nama Ci Kiara tampak keluar dari dalam tanah. Sebuah pipa tertanam untuk mengalirkan airnya ke kolam kecil. Di kolam ini banyak warga yang memanfaatkannya untuk mencuci pakaian. 

Mata saya memandang kagum sekaligus sedih, bagaimana mungkin mata air yang mengalirkan air untuk kehidupan terlihat tidak terawat dengan baik. Mereka yang memanfaatkan airnya ternyata tidak membawa serta sisa-sisa pembungkus sabun. Akibatnya di sekitar mata air dihiasi oleh plastik warna-warni yang merusak keasriannya. 

Kesedihan itu saya ungkapkan kepada pemimpin daerah setempat dan berharap masyarakat bisa lebih menghargai keberadaan mata air tersebut. 

Perjalanan pun berlanjut. Dipimpin oleh pria berpeci hitam, rombongan melangkah melewati kebun dan belakang rumah warga dan menyeberangi jalan besar. Keberadaan kami seketika menarik perhatian para pengguna jalan yang melintas. Mereka melambatkan laju kendaraannya dan memperhatikan kami dengan pandangan keheranan. 

Untungnya acara melintas di tepi jalan raya itu berlangsung sebentar. Sekitar seratus meter, rombongan berbelok ke kiri, ke arah kebun yang berada di tepi jalan. Sepertinya perjalanan akan semakin menantang.

Benar saja, seluruh rute yang dilewati sepenuhnya beralaskan tanah, tapi bukan jalan tikus melainkan menerabas sela-sela kebun hingga akhirnya bertemu dengan jalan setapak. Kontur tanah di sini masih termasuk landai sehingga bisa dilakui dengan mudah. 

Meski tidak cepat, langkah kaki masih dapat mengikuti gerakan pemimpin rombongan yang cekatan berjalan di antara guguran dedaunan. Langkahnya tetap mantap dan stabil saat menuruni jalan setapak menuju tepi sungai. Dari atas jalan, saya melihat alisan sungai yang dipenuhi oleh batu-batu besar. 

Batu-batu itu seakan penjaga sungai yang berani. Kekuatannya mampu menahan gerakan plastik warna-warni dan potongan bambu yang terbawa arus sungai. Pelan-pelan saya melangkah di atas batu, berjalan menuju sumber mata air yang berada tepat di bawah rumpun bambu. Lagi-lagi mata air ini dipagari oleh batu besar. 

Batu-batu besar itu juga menjaga sumber mata air Citaman dari rumpun bambu yang rebah ke arah sungai. Batang-batangnya yang panjang cukup menyulitkan saya dan teman-teman untuk mendekat. Namun berada di dekattnya sudah cukup lebih dari cukup.

Perjalanan pun dilanjutkan. Satu persatu anggota rombongan kembali ke jalur semula lalu mengambil arah kiri. Melewati daun-daun bambu yang gugur dan tiba-tiba rombongan sudah berada di jalan kecil di atas museum Golok Ciomas. 

Entah kenapa waktu melihat bangunan itu rasanya senang. Mungkin karena berhasil melewati tiga sumber mata air jadi tersisa empat mata air lagi. Jadi ada semangat yang muncul karena merasa perjalanan sudah mencapai hampir setengahnya. Padahal saya juga tidak tahu seperti apa jalan yang akan dilalui dan letak mata airnya, tapi rasanya senang sekali.

Aura kegembiraan itu membuat langkah kaki terasa ringan. Dengan sukacita saya mengikuti rombongan yang berjalan semakin menjauh dari museum Golok Ciomas. Sekarang semua sepenuhnya berjalan di kebun-kebun milik warga. Bunga-bunga dari pohon durian menghiasi tanah yang kami lewati. Keberadaannya seperti memantik rasa sukacita dan membawa angan dan ingatan pada kelezatan durian. Tidak heran kalau beberapa peserta berharap saat ini sedang musim durian. Tentu sangat menyenangkan bisa menikmati durian setelah melakukan perjalanan. 

Sayang angan itu harus dihapus dulu sebab konsentrasi sangat diperlukan agar bisa melalui jalan yang mulai licin. Tumpukan daun-daun kering dan rapatnya dahan membuat sinar mentari tidak bisa menyentuh lantai tepi hutan. Keterbatasan sinar mentari membuat lumut mulai menghiasi permukaan lantai tanah. 

Di sinilah sesekali terdengar jeritan dari beberapa anggota rombongan yang terpeleset. Biarpun begitu, tidak ada satupun yang mundur, semua tetap berjalan menuju mata air Cibikang. Letaknya tepat di seberang aliran sungai kecil dan dangkal. Cukup mudah untuk mendekat sehingga saya dan teman-teman bisa merasakan kesejukannya. 

Melihat semua anggota rombongan sudah merasakan dinginya sumber air, pria berkopiah hitam kembali bergerak. Kali ini dengan santai dia melintas di atas permukaan sungai kecil, lalu melompat naik ke atas. Saya dan teman-teman tertegun, tidak menyangka kalau harus melintasi sungai. Sementara sepatu yang kami pakai tidak tahan air. Tetapi ini bukan halangan, jadi satu persatu anggota rombongan mengkuti jejak kaki yang ditinggalkan pemimpin rombongan. 

Sebelumnya anggota pria berjalan lebih dulu untuk membantu anggota lain naik ke atas. Baru setelah itu rombongan kembali berjalan berbaris. Sesekali terdengar kata yang mengingatkan rombongan untuk hati-hati. Ucapan itu kemudian berhenti ketika mendapati ukuran batu-batu besar yang berdiri gagah di depan rombongan. 

Batu-batu ini harus dilalui agar bisa sampai ke sumber mata air Cilalaki. Kerjasama jelas-jelas sangat diperlukan. Tangan-tangan pun mulai terulur. Saling mengengam agar bisa melangkah di atas batu berukuran besar. 

Beberapa teman berjalan mendekati sumber mata air. Mereka berdiri di atas batu-batu sungai. Begitu juga dengan saya yang berdiri tidak jauh dari sumber mata air. Di sini saya tidak mendekat, cukup melihat saja. 

Tidak lama kemudian pimpinan rombongan kembali melangkah. Kakinya dengan cekatan menapak di atas beberapa batu lalu melompat ke jalan setapak. Meski tidak selincah, satu persatu anggota rombongan berhasil mencapai jalan setapak dan kembali berjalan di belakang pimpinan rombongan. 

Semkain menjauh, jalan yang dilewati semakin tidak terlihat. Tidak ada jalur jalan yang bisa dilewati. Hanya sebuah aliran kecil dengan tepian yang dipenuhi tanaman merambat. Jangan ditanya seperti apa bentuknya karena tanah yang dilalui basah dan lunak.

Satu hal yang menguatkan saya dan teman-teman saat berjalan adalah jalinan pipa-pipa pralon. Setidaknya jika terjadi sesuatu yang membuat rombongan tertinggal atau tersesat, dia bisa menyusuri pipa pralon menuju kampung terdekat.

Perjalanan tidak berhenti. Jika merasa haus, cukup minum bekal yang dibawa. Tanpa terasa isi botol air minum sudah tinggal setengah. Udara lembab dan jalan kaki membuat tubuh perlu mendapat air agar tidak dehidrasi. Memang sih, saya tidak merasa keringatan yang berlebihan. Tetapi rasa haus tetap terasa. 

Sempat berpegangan pada sebatang pohon agar badan tidak meluncur ke bawah, akhirnya saya bisa berdiri di depan sumber mata air berikutnya, Curung Kebo. Lokasinya sangat teduh dan tidak ada batuan besar di sekitarnya. Curung Kebo seperti sebuah kolam berukuran persegi panjang yang dangkal. Di atasnya mengalir mata air yang jernih dan dingin. Posisinya yang sedikit lebih rendah dengan tepiannya memudahkan saya dan rombongan untuk mendekat.

Dari semua sumber mata air yang saya dan teman-teman lewati, Curung Kebo adalah sumber mata air yang indah. Tidak heran kalau saya dan teman-teman sepakat untuk menikmati kesegaran airnya sebelum melanjutkan perjalanan. 

Setelah puas mencuci muka dan mencicipi airnya, perjalanan dilanjutkan ke sumber mata air berikut yang berada di dekat area persawahan. 

Pelan-pelan rombongan keluar dari area tepi hutan dan berjalan di pematang sawah. Ternyata berjalan di sini lebih menantang. Selain ukuran pematang yang kecil, lebarnya hanya sejengkal, jarak antar pematang di atas dan di bawah cukup tinggi dan curam. 

Kembali teriakan kaget karena terpeleset sesekali terdengar disusul teriakan agar semua berjalan hati-hati. Untunglah tantangan itu berhasil dilalui dan saya beserta teman-teman bisa melihat sumber mata air Ciwawarung.

Letak sumber mata air ini bisa terbilang lebar dan terbuka. Batu-batu yang berada di sekitarnya juga tidak terlalu tinggi, meski ukurannya tetap saja besar. Namun bisalah dilalui dengan mudah. Puas melihat dan mengamati area sekitar mata air, perjalanan segera dilanjutkan menuju titik terakhir yaitu Ciomas.

Meski sudah hampir sampai, perjalanan itu harus ditunda karena hujan turun. Beruntung tidak jauh dari situ terdapat sebuah huma. Langkah kaki semakin dipercepat tanpa mengurangi kehati-hatian agar tidak terpeleset. Bukan apa-apa jika sampai jatuh, maka akan masuk ke dalam sawah yang artinya merusak tanaman padi dan harus siap menanggung malu.

Lima belas menit berlalu, tubuh sudah kembali bugar dan hujan pun berhenti. Sekarang perjalanan sudah bisa dilanjutkan menuju titik terakhir yang merupakan penyatuan dari semua sumber mata air. Rasanya lega sekali ketika kaki berhasil menapak di atas batu yang berada tidak jauh dari sumber mata air Ciomas. Akhirnya perjalanan menyusuri mata air di Ciomas berhasil dilalui dengan baik. Rasanya lega dan menyenangkan sekali, terutama untuk saya yang sudah lama sekali tidak menyusuri sungai. Sungguh kegiatan ini benar-benar membuka kembali kenangan yang dulu pernah saya lakukan dan mengembalikan kepercayaan diri bahwa saya masih bisa menjalaninya dengan baik. 

Gerimis kembali turun ketika saya dan rombongan meninggalkan tepi sungai. Mata ini memang tidak lagi melihat alirannya, tetapi kenangan yang tersimpan dalam ingatan bisa saya putar kapan saja agar semangat bisa kembali terpantik karena saya bisa.






Komentar