Ke mana Waktu ke Solo? Kuliner dan Keliling Kota Solo.

Masjid Agung
(sumber: pribadi)


Tidak ada angin, hanya sinar matahari pukul 15.00 yang ada. Begitulah cuaca di Kota Solo pada Rabu siang menjelang sore. Cocok sekali untuk pergi ke luar dan menikmati suasana kota. Rasanya ruang rapat yang diubah menjadi ruang belajar itu tidak lagi menarik. Pemateri yang berdiri di depan seperti mengerti, dia segera mengakhiri materi dan menyilahkan seluruh peserta untuk meninggalkan ruangan. Senyum langsung menghiasi wajah. Dengan cekatan saya merapihkan laptop. Memasukkannya ke dalam tas pembungkusnya sebelum menyimpannya ke dalam tas.

Saya tidak mau menyia-nyiakan waktu. Sejak tiba di kota ini pada hari minggu, saya sudah berencana untuk berjalan-jalan. Saya memang tidak ada tempat khusus yang harus didatangi. Sengaja tidak mau menetapkan rencana karena takut kecele. Takut kecewa kalau-kalau rencana yang disusun tidak bisa terlaksana. Jadi memilih gaya free style saja, ketika ada waktu, ya jalan saja. 

Melihat saya berkemas, teman di sebelah ikut-ikutan membereskan laptop. Dengan suara pelan dia bertanya saya akan pergi ke mana. Mata saya membelalak, tidak menyangka ada mengetahui niat yang tidak diungkapkan pada siapa pun. 

"Jalan-jalan saja mbak. Mau ikut?" jawab saya setengah berbisik.

Dia mengangguk seraya mengangkat tas punggung dan siap untuk melangkah pergi. Saya balas tersenyum dan menyarankan untuk menitipkan tas berisi laptop di penerima tamu. Biar punggung tak berat membawa beban dan acara jalan-jalan jadi lebih menyenangkan.

Seperti dua anak kecil yang akan pergi ke tempat permainan, langkah kami berdua terasa sangat ringan. Lucunya, berjalan pun berdampingan, seakan takut terpisah atau ditinggalkan. Dua puluh langkah kemudian saya sudah berada di depan meja penerima tamu. Di bagian belakang meja tampak seorang perempuan muda. Menggunakan baju batik warna cerah. Rambutnya yang hitam diikat ke belakang. 

"Mbak, kami mau menitipkan tas, boleh?" tanya saya setelah berdiri dihadapannya, sebenarnya agak rahu juga karena belum tahu boleh tapi atau tidak. 

Untungnya, mbak penerima tamu mengiyakan dan menyimpan kedua tas kami di tempat semestinya.

Saya langsung mengucapkan terima kasih lalu berlalu sambil tersenyum gembira. 

Pasar, Jajan, Makan Es Krim

Langkah kaki terasa sangat ringan, mungkin karena gembira bisa pergi jalan-jalan. Begitu ada di luar pintu masuk, saya segera mengeluarkan telepon gengam. Ibu jari dengan cepat menggulir layar. Pada layar kedua, saya menekan sebuah ikon berwarna hijau untuk memesan kendaraan. Sebenarnya ingin sekali naik kendaraan umum, hanya azan Azar sebentar lagi akan terdengar. Pasar pasti tidak lama lagi akan tutup. Niat naik kendaraan umum disimpan dulu. 

Es krim legendaris
(foto: pribadi)


Dalam lima menit, sebuah mobil masuk ke pelataran hotel. Siap membawa kami menuju Pasar Klewer. Inilah tempat pertama yang saya dan teman kunjungi. Tidak ada alasan kuat, hanya nama pasar itu yang terlintas.

Pasar Klewer

Pasar di jalan Dr. Rajiman, Solo ini sangat dikenal karena menyediakan aneka batik dalam berbagai model. Mau kain batik panjang, atau baju, kemeja, setelan, hingga outer yang tengah digandrungi, semua ada di sana. Keberadaan pasar ini sudah cukup lama. Meski sempat terbakar hebat pada tahun 2014, tempat niaga itu bisa kembali beroperasi tahun 2017.

Menurut keterangan di internet, Pasar Klewer tutup pukul 17.00 WIB. Artinya satu jam lagi seluruh toko di sana akan menutup pintunya. Untungnya kendaraan yang kami tumpangi berhenti di depan pintu masuk pasar pukul 16,00 WIB. Tersisa satu jam. 


Pasar Klewer
(foto: pribadi)


Tanpa berlama-lama, saya dan teman langsung melangkah menuju lantai 2. Toko di area ini menjajakan aneka produk fashion dari batik. Begitu sampai di atas, beberapa pedagang yang masih membuka toko menyambut kedatanan kami.

"Mari mbak, ada tunik batik. Rok juga bagus-bagus," bujuk seorang perempuan muda sambil duduk di atas bangku plastik merah.

Produk fashion yang ditawarkan sangat beragam. Baju-baju panjang, tunik aneka motif, kaus, gamis, celana, hingga kain batiknya begitu menggoda. Harganya pun masih bisa ditawar sehingga jelas kemampuan tawar menawar sangat membantu. Sayangnya, saya tidak pandai menawar. Mendapat sehelai kain batik cap dengan warna hijau dengan harga Rp125.000 sudah membuat senyum menghiasi wajah saya.

Wedang Ronde

Menjelang waktunya pasar tutup, ketika hujan telah reda, saya dan teman memutuskan untuk berjalan ke arah masjid besar. Letaknya tepat di seberang pasar. Bersama-sama kami menyeberangi jalan sambil menjaga langkah agar tidak terkena genangan air. Setengah berjinjit, saya berjalan melewati pintu bercat biru. Terus melangkah di atas paving blok yang disusun di sisi kanan masjid. 

Tepat di tikungan jalan, saya berhenti untuk melihat keindahan bangunan yang menjadi tempat ibadah umat Islam. Bagian teras yang luas itu terlihat menyenangkan. Banyak orang duduk di sana. Saya pun melangkah kembali, tujuan ke luar masjid. Di dekat jalan, di bawah pohon, tampak gerobak dengan tulisan wedang ronde.

Penjaja wedang yang tengah menyiapkan jualannya, segera menghentikan kegiatannya. Cekatan tangannya memegang mangkuk dan meracik ronde. Mutiara, potongan roti, irisan kolang-kaling, tiga buah ronde, dan kacang sangrai disusun ke dalam mangkuk. Setelah itu tangannya menuang kuah jahe yang hangat.

Sore itu, setelah hujan berhenti, saya dan teman menikmati wedang ronde. Tidak buru-buru. Sesendok demi sesendok kuah hangat menelusup ke dalam tenggorokan. Bergantian dengan isian ronde. Bersamaan dengan itu gerimis halus kembali datang. Bertahan di bawah pohon sembari menikmati wedang ronde ternyata melahirkan pengalaman yang unik.

Pasar Triwindu

Perjalanan kemarin telah selesai. Hari yang baru sudah datang. Seperti kemarin, ketika kelas berakhir, saya dan teman memutuskan untuk jalan-jalan lagi. Tujuannya tentu berbeda karena ingin mengekplorasi kota Solo. Pilihannya pun masih bersifat random. Asal melihat di peta.

Ketika mengetikan kata pasar, maka muncul Pasar Triwindu. Ini pasar barang antik. Letaknya berbeda arah dengan Pasar Klewer. Hm, menarik sekali ya.

Pasar Triwindu
(foto: pribadi)


Segera setelah menyimpan tas di kamar, kali ini tidak menitipkan di resepsionis, saya segera menuju Pasar Triwindu naik angkutan umum. Posisi pasarnya agak masuk ke dalam dari jalan utama, tetapi tidak jauh. 

Saya menyusuri trotoar yang lebar dan bersih lalu menyeberang. Kaki terus melangkah dan berhenti tidak jauh dari pintu gerbang Pasar Triwindu. DI belakangnya tampak pasar dua lantai yang terlihat unik. Barang-barang yang ditawarkan berbeda dari biasanya. Ini magnet yang menarik saya semakin dekat. 

Wah, mata saya seketika berbinar melihat beragam barang antik. Pesawat telepon, patung, topeng, keramik, barang-barang dari kuningan, papan iklan, kain-kain, dan kebaya. Kebaya.... benda satu ini membuat saya terkejut. Kebaya-kebaya yang ditata cantik itu modelnya kuno. Bahannya pun menerawarng, khas kain lama. 

Berada di antara barang-barang antik memang menyenangkan. Berulang kali saya mengingatkan diri untuk tidak membuka hati karena akan repot membawanya pulang. Bersyukur hati ini mau mendengar, namun tidak lama.

Toko Oleh-oleh Cokro

Kembali melanjutkan perjalanan dengan bus umum yang membawa saya hingga ke toko oleh-oleh Cokro di dekat sebuah pabrik gula. Begitu turun dari bus dan melihat beragam kerupuk yang terpajang, pertahanan saya mulai goyah.

Kaki pun tanpa diminta segera melangkah masuk ke toko yang menyediakan beragam makanan kering dan basah khas kota Solo. Ada kerak kering yang renyah (saya pernah memakannya), balung ketek, kerupuk rambak, keripik buah, dodol, krasikan yang manis, dan masih banyak lagi.

Roti Cokro
(foto: Pribadi)

Akhirnya saya mengambil sebungkus makanan kering dalam kemasan plastik. Warnanya yang putih dengan sedikit coletan warna membuatnya berbeda. Ternyata jajanan ini dinamai mata. Rasanya renyah dan agak manis. 

Saya juga membeli bluder Cokro. Bluder ini adalah roti khas. Ada beberapa varian isi rasa, original (tanpa rasa), cokelat, keju, dan tiramisu. Saya pilih original, cokelat, dan keju. Bluder ini mau buat teman makan di dalam kereta saat kembali ke Jakarta.

Pasar Gede

Keesokan hari perjalanan berlanjut ke Pasar Gede yang berada di tengah kota. Pasar ini berada di bangunan lama dan sudah menjadi cagar budaya. Bangunannya besar dengan atap tinggi sehingga sirkulasi udara di dalam sangat lancar. 

Pasar ini menjadi tujuan para pelancong karena ada penjual makanan yang rasanya top. Di sini juga banyak makanan untuk oleh-oleh. Ada juga penjaja pakaian yang ditata seperti tengah berada di pasar masa lalu.

Pasar Gede
(foto: pribadi)


Kalau sudah mampir ke pasar ini sebaiknya menyeberang ke gedung yang berada di depan pasar Gede. Bangunan ini masih masuk dalam lingkungan pasar gede. Bangunannya juga bangunan lama hanya makanan yang dijual adalah makanan matang. Mau makan di tempat makan yang ada di lantai satu atau lantai dua sembari melihat orang lalu lalang juga sama menyenangkannya.

Dawet

Sudah berada di Pasar Gede ya jangan lupa buat beli dawet yang kesohor itu. Siang itu kebetulan tidak ada antrean pembeli jadi saya leluasa memilih tempat duduk lalu memesan semangkuk dawet. Cekatan sekali mbak penjajanya mengambil mangkuk lalu mengisinya dengan dawet, ketan hitam, dan santan serta juroh atau saus gula.

Semangkuk dawet seharga sepuluh ribu itu segera saya nikmati. Rasanya segar sekali. Dawetnya lembut sekali. Ketan hitamnya pun terasa lunak. Gula aren dan santannya saling melengkapi, jadi paduan yang klop dan menyenangkan.

Dawet

(foto: pribadi)


Kopi Pojok

Namanya jalan-jalan, saya benar-benar menikmati suasana pasar yang tidak terlalu ramai. Mata ini sibuk menjelajahi setiap dagangan yang ditawarkan serta plang toko. Hingga akhirnya saya berhenti di depan toko kopi yang berada di pojok sehingga disebut kopi pojok.

Toko kopi ini menawarkan beragam biji kopi dari berbagai daerah di Indonesia. Biji-biji yang telah disangrai itu siap untuk digiling sesuai pesanan pembeli. Mau robusta atau arabika? Saya memilih robusta lanang sebagai oleh-oleh untuk keluarga dan teman yang suka kopi. 

Segera biji kopi digiling dan dikemas dalam wadah tahan udara seberat 250 gram. Sebagai gantinya saya mengangsurkan uang sebanyak 65 ribu. 

Dimsum

Masih belum selesai, saya saat menggelilingi bangunan tua di depan pasar Gede, dan mengamati apa saja makanan yang ditawarkan, akhirnya saya mengikuti saran untuk naik ke lantai atas. Tujuannya untuk membeli dimsum yang lezat.

Beruntung siang itu penjaja dimsum tidak terlalu dikerubungi para pembeli. Segera saya memesan seporsi dimsum sebanyak lima buah dan dikemas dalam wadah. Dimsumnya mau buat bekal di kereta, dan ternyata sampai malam pun dimsumnya tetap oke.

Akhirnya perjalanan berkeliling Kota Solo harus disudahi karena malam ini sudah harus kembali ke Jakarta. 










Komentar