Uang Kuno Hingga Pecahan Keramik, Sisa Kejayaan Tirtayasa

ruang informasi tirtayasa
Ruang informasi Situs Tirtayasa (dok. pribadi)
                                            

Gerimis turun tiba-tiba. Meski belum deras tetap mampu membuat bangku-bangku basah. Sebelum itu terjadi, susunan bangku segera dipindah ke bawah naungan atap di selasar jalan menuju sebuah makom. Kini bangku-bangku plastik yang tertutup sarung itu bisa digunakan oleh para tamu yang berdatangan ke acara pembukaan pameran Situs Tirtayasa.

Sesungguhnya saya termasuk tamu dalam kegiatan pembukaan Situs Tirtayasa yang berada di desa Tirtayasa, Banten. Unit lain yang tengah bertugas menyiapkan dan menggelar acara pembukaan. Walau sebagai tamu, saya tetap membantu teman-teman panitia karena rasanya menyenangkan.

Jadi ketika tamu undangan mulai berdatangan, saya memilih membantu teman yang bertugas di meja registrasi. Meminta undangan mengisi daftar hadir lalu menyilahkan mereka duduk di bangku yang telah tersedia. Para tamu yang berasal dari daerah sekitar Situs Tirtayasa tampak penasaran dengan kegiatan pameran. Untunglah acara pembukaan berlangsung singkat dan padat, jadi seluruh undangan dapat melihat koleksi yang dipamerkan.

Batu Bata, Pecahan Keramik, Nisan, Senjata Tradisional

Satu persatu tamu undangan masuk ke dalam ruangan berukuran sekitar 5 x 6 meter persegi. Saya sengaja menunggu untuk memastikan semua orang bisa masuk ke sana. Sekaligus memberi kesempatan para tamu melihat koleksi di dekat pintu masuk. Untunglah gerimis berhenti sehingga cuaca terasa lebih nyaman.

Ketika para undangan sudah bergeser menjauhi pintu, barulah saya masuk ke dalam ruang pamer. Kini tampaklah susunan benda keramik di dalam sebuah lemari kaca. Tiga piring keramik dengan desain yang berbeda tampak utuh. Sebuah piring yang berada di tengah menarik perhatian saya, motifnya ikan dan berwarna biru. Motifnya menarik sekali dan baru kali ini saya lihat. 

nisan dari batu karang di tirtayasa
Nisan dari batu karang (dok. pribadi)

Masih dalam lemari yang sama, di rak ketika terlihat sendok keramik yang tidak utuh lagi. Gagang bagian atasnya hilang. Meski demikian bentuknya masih terlihat jelas. Melihatnya saya jadi teringat pada sendok yang dipakai saat menikmati mi. Ternyata sendok seperti itu sudah ada sejak dulu.

Pandangan kemudian saya alihkan ke tumpukan batu bata yang ada di pojokan. Ukuran batu bata itu lebih besar dibanding batu bata yang ada dipasar. Warnanya pun sudah tidak terlalu merah, mungkin karena pernah terpendam tanah. Batu bata itu merupakan sisa dari bangunan keraton Tirtayasa. Diperoleh setelah digali dari gundukan tanah. Hm, jika batu bata itu bisa bercerita, mungkin dia akan mengisahkan kemegahan keraton Tirtayasa, tentang kekayaan Sultan Agung Tirtayasa yang berhasil menghidupkan perdagangan di kawasan Banten.

Hiruk pikuk kegiatan perdagangan itu terlihat dari temuan beberapa mata uang yang dipakai untuk kegiatan jual beli. Sebuah mata uang terlihat berbeda karena bentuknya tidak utuh. Salah satu bagiannya koyak. Entah apa penyebabnya. Tetapi, saya tidak mau menebak. Perhatian saya sudah tertuju pada benda-benda berukuran cukup besar di dekat dinding.

Benda berwarna putih itu menyisakan jejak ukiran yang sudah tidak terlalu nyata. Tetapi dari jejak yang terlihat sudah bisa membawa ingatan saya pada nisan-nisan tipe aceh di Martapura, Kalimantan Selatan. Ketika membaca secarik informasi di bagian atas koleksi itu, saya tersenyum karena dugaan saya benar. Batu-batu berwarna putih itu adalah nisan.

Warna putih itu berasal dari jenis bahan yang dipakai, yaitu batu karang. Guratan-guratan khas batu karang masih terlihat jelas. Paduannya membuatnya terlihat menarik. Kokohnya karang seakan ingin menceritakan kebesaran dan kekuatan jasad yang berada di bawahnya. 

Mengamati lekuk-lekuk ukiran membuat saya tidak menyadari kalau para tamu undangan seperti berkumpul di bagian tengah ruangan. Keadaan ini membuat ruang di sisi kanan menjadi lapang. Saya jadi bisa mengamati senjata tradisional yang terpajang. Beberapa bilah golok dan keris di tata sedemikian rupa di dalam vitrin. Hanya sebilah tombak yang sengaja ditempelkan di dinding. 

Keberadaan senjata tradisional itu seperti tameng untuk melindungi sebuah plakat berwarna emas. Memang benda itu tidak mengandung emas, tetapi ukiran kata-katanya terasa sangat bernilai karena menyatakan keberadaan Sultan Ageng Tirtayasa sebagai Pahlawan Nasional. 

Keraton Tirtayasa

Sebelum memasuki ruang pamer, saya sempat melihat sisa-sisa runtuhan keraton Tirtayasa di luar ruang informasi Situs Tirtayasa. Runtuhan itu seperti sisa pondasi bangunan. Bentuknya memanjang sekitar 3 meter. Bata yang merah terlihat jelas, menyembul dari atas tanah.

Dari peta yang dipajang di dinding, terlihat denah keraton yang megah. Keraton itu berbentuk empat persegi panjang. Bagian luarnya dikelilingi oleh benteng dengan bastion di empat penjuru. Keraton ini dibangun pada abad XVII oleh Pangeran Surya atau Abdul Fath' Abdul Fattah atau lebih dikenal dengan Sultan Ageng Tirtayasa. 

Reruntuhan Keraton Tirtayasa
Reruntuhan Keraton Tirtayasa (dok. pribadi)

Kala itu Sultan sengaja membangun Keraton Tirtayasa sebagai pusat pemerintahan dan menjadinya sebuah kota satelit yang mandiri. Untuk mencukupi kebutuhan pangan, dibuat sawah-sawah dengan irigasi. Hasilnya, seluruh kebutuhan keluarga kesultanan dan masyarakat terpenuhi. 

Sayangnya, masa kejayaan Sultan Ageng Tirtayasa berakhir karena mengalami kekalahan. Menyadari posisinya, Sultan Ageng Tirtayasa mengambil tindakan ekstrim dengan membumihanguskan keraton. Inilah langkah terakhir Sultan melawan Belanda. Hancurnya keraton Tirtayasa dan tertangkapnya Sultan Ageng Tirtayasa seakan menjadi pertanda kemunduran pemerintah kesultanan Banten. 

Jangan Sentuh

Perihal plakat ini ternyata sangat diperhatikan oleh tamu undangan. Mereka memastikan betul keberadaannya karena berkaitan dengan sejarah dan kebanggaan. Ketika diberitahu bahwa plakat itu tertempel di dinding, reflek seorang tamu memegang plakat. 

Meski kaget, saya berhasil menahan teriakan. Hanya mata saya yang "berteriak" seperti memberi peringatan. Menyentuh benda koleksi sangat tidak diperbolehkan sebab bisa menyebabkan kerusakan. Keringat yang keluar dari pori-pori kulit bisa mempengaruhi keberadaan benda koleksi. Benda koleksi bisa berubah warna dan lama kelamaan rusak. 

Tidak menyentuhnya adalah upaya mudah untuk melindungi benda koleksi. Normalisasikan kebiasaan tidak menyentuh benda koleksi di museum atau pameran untuk menjaga keberadaannya dalam kondisi baik.



Komentar