Melihat Acara Mandi Sungai Riam di Cemapaka

Baayun Maulud

Acara ini sudah berlangsung beberapa bulan lalu, namun baru sempat saya ceritakan di sini. beberapa foto sudah dipajang di fb dan ig, tapi masih kurang memuaskan karena tak ada cerita. maka, ijinkan saya untuk bercerita kembali.

Sisa hujan masih ada. Gerimis yang turun membuat suasana terasa sahdu. Lengang sangat terasa ketika melewati jalan utama. Rupanya banyak orang yang enggan keluar karena dingin. Namun, kesenduan sirna di pelataran museum lambung mangkurat. Alunan lagu terdengar sayup-sayup dari pelataran parkir, membuat beberapa orang yang datang sambil mengendong anak kecil semakin mempercepat langkahnya.

baayun maulud5

Dua buah tenda besar di samping pintu utama museum Lambung Mangkurat terlihat semarak. Berhias beragam kain dan janur. Hampir sebagian besar terisi oleh anak-anak kecil yang kembali melanjutkan tidurnya yang tergganggu. Beberapa tampak bingung karena kemeriahan yang berbeda. Namun tak ada tangis di sana. Ibu mereka sigap mengayun apabila sang anak mulai merengek.

[gallery ids="158,167,171,170,168" type="rectangular"]

Di sisi luar tenda, tanpa disadari banyak orang, seorang lelaki asyik membakar dupa. Ditaruhnya anglo kecil itu di dekat panggung utama. Tepat disamping pohon agar tak kentara. Entah, apakah asap itu mampu membuat awan seperti enggan menurunkan airnya. Atau memang hujan sudah berhenti. Yang pasti tak ada lagi tetes air, hanya sesekali gemuruh terdengar di kejauhan.

 

Cuaca yang mendung seperti memberi aba-aba agar acara segera dilakukan. Tak lama, seremoni pun dimulai. Baayun maulud sudah berjalan. Bagi masyarakat Banjar, inilah adat mereka. Upacara daur hidup yang kerap dilakukan dimulai dari upacara kehamilan, kelahiran, masa kanak-kanak menjelang dewasa, perkawinan, hingga kematian.

baayun maulud11

Baayun maulud yang dilakukan pada bulan Rabiul Awal merupakan upacara daur hidup masa kanak-kanak. Inilah media yang digunakan untuk mengenalkan anak pada “Datu Ujung”, seorang tokoh sakti yang sangat berpengaruh dan merupakan pimpinan utama pembangunan masjid kuno yang bersejarah di Banua Halat. Kegiatan ini pun dilakukan dibanyak tempat, salah satunya Museum Lambung Mangkurat.

 

Meski tak mengambil tempat di Masjid Kuno Banua Halat, kesakralan tetap terasa. Tata upacara dilakukan sesuai pakem yang telah ditentukan. Panitia sejak kemarin sudah menyiapkan berbagai peralatan yang kini mengisi tenda di kanan dan kiri. Lihatlah, ayunan warna-warni itu, terdiri dari tiga helai kain yang ditumpuk lalu diikat ke atas. Jumlahnya ganjil tak boleh genap. Dahulu di syaratkan bahwa salah satu kain harus kain sasirangan bermotif bahindang. Tapi kini sepertinya tidak lagi.

[gallery ids="166,164,165,157" type="rectangular"]

Bagian atas ayunan, terjalin kain-kain kecil berwarna-warni. Ikatannya seperti membentuk kaitan yang saling menyatu. Seperti menahan agar ayunan tak melebar dan hiasan tak berjatuhan. Ya, ragam bentuk janur disematkan di sela-sela kain pengikat. Tangga puteri, tangga pangeran, payung singgasana, patah kankung, kembang serai, gelang-gelang merupakan wujud si janur sekarang. Kue-kue seperti cucur, cincin, dan pisang adalah pelengkapnya. Inilah hiburan untuk sang anak sambil mengikuti prosesi baayun maulud.

 

Sementara di panggung utama para guru melatunkan syair-syair dari kitab mauled Al-Barjanji, Syaraful Anam, Dibai’ atau Maulud Al-Habsyi. Di hadapan mereka terlihat beragam wadah besar. Itulah piduduk atau syarat upacara. Terdiri dari 3,5 liter beras, 1 buah gula merah, dan sedikit garam untuk anak laki-laki. Syarat serupa ditambah minyak goreng untuk anak perempuan. Keberadaan piduduk ini mempunyai arti mendalam. Ia merupakan lambang kehidupan manusia, semisal beras yang membuat paras muka menjadi lebih baik, gula merah agar sang anak manis dalam bertutur kata. Sedangkan rasa asin memiliki maksud berwibawa. Khusus untuk anak perempuan, minyak goreng melambangkan ia akan mendapat perhatian dari banyak orang. Melengkapi piduduk, diletakkan berbagai perlengkapan upacara lainnya seperti telur dan nasi ketan.

[gallery ids="161,160,159,162" type="rectangular"]

Menjelang siang pembacaan “Asyrakal” akan dilakukan. Suara panitia seperti mengingatkan para orangtua dan undangan bahwa acara inti akan berjalan. Anak-anak pun dibangunkan dari tidurnya. Tetap dalam ayunan yang diayun perlahan dengan cara menarik selendang yang dikaitkan ke pangkal ayunan. Pada saat pembacaan doa, ayunan dihentikan. Kemudian dilanjutkan pada pembacaan awal yang diulang hingga tujuh kali. Satu per satu peserta pun maju untuk batapung tawar. Baayun maulud pun selesai. Semua tersenyum. Gerimis pun mulai turun, seperti mengantar seluruh tamu yang datang kembali ke rumah masing-masing.

Komentar