Ada Apa di Kota Serang?

Ulasan : Denting Lara

Denting lara karangan k.fischer


Tina tak habis pikir, dari mana Esa mendapat kekuatan untuk menghadapi bulian dan sikap tak peduli orang tuanya. Bagaimana mungkin remaja kelas 12 itu bertahan hanya didampingi seorang bibi yang mengasihinya dengan sangat. Bagaimana mungkin!

Lembar demi lembar buku digital itu pelan-pelan memberi jawaban atas pertanyaan Tina. Paduan dari rasa ingin tahu dan kemahiran penulis merangkai kata adalah mantra kuat yang mampu menarik Tina agar tak meluangkan waktu hingga kisah itu tuntas.

Pesona Esa

Ya, Esa memang memesona. Seorang gadis remaja yang hidup di masa kini namun berpenampilan apa adanya. Bukan berarti Esa tak mengenal make up dan fashion kekinian. Ia mampu memulas wajahnya dengan baik.

Namun itu hanya sebagian kecil dari pesona sesungguhnya. Hatinya begitu lembut hingga tak mampu melihat orang terdekatnya menderita.

Dia juga mampu mengenyahkan amarahnya, ketika Saskia, sahabatnya, memintanya kembali berteman. Bersama menuntaskan tugas terakhir sebagai siswa dengan nilai memuaskan.

Ketika hidup berwarna kelam

Tina menarik napas. Kisah Esa semakin dalam. Warnanya mulai kelabu.

Begitu pekat warna hidup untuk Esa, hingga orang tuanya menganggapnya tak ada. Amarah sang Ibu adalah bagian yang kerap tercetak dalam lembaran putih hidupnya. Namun Esa bertahan dan tetap mendampinginya. Bagaimanapun, perempuan itu adalah ibu yang telah melahirkannya.

Bersebelahan letaknya dengan argumen sang ayah yang hidup terpisah dengannya. Bahwa, tanggung jawabnya hanyalah sebatas memenuhi segala pembayaran atas nama Esa. Lebih dari itu menjadi tugas sang Ibu.
Arsitek dan interior desain itu memang sudah berpisah. Membiarkan Esa meniti dunianya sendiri.

Pelangi hidup Esa

Ada pelangi setelah hujan turun. Demikian juga dengan kehidupan Esa yang seakan sendirian. Tak ada teman. Tak ada "orang tua". Tak ada bahu untuk bersandar.

Iya. Ketika Erik belum mengenalnya. Laki-laki berusia matang inilah pelangi dalam kehidupan Esa. Kecintaannya pada musik klasik menjadi pemersatu keduanya. Mengantarkan keduanya pada rasa kasih tanpa syarat.

Sayang, kisah kasih itu harus terhenti. Tidak berakhir. Tempat memang menjadi pemisah. Namun benang-benang tak kasat mata tetap menyatukan keduanya.

Meski pelangi itu sempat tersaput awan kelabu, keindahannya tak akan pernah pudar. 
Matahari akan kembali menyinari pesonanya. 

Walaupun untuk itu, Esa harus membiarkan hatinya terkunci. Ia tak ingin bilik rindu itu terbuka. Baginya nada-nada yang mengalun dari kontrabas adalah senandung doa bagi pria yang dikasihinya. Entah dimanapun ia berada.

Senandung itu terus mengalun, menggetarkan hati dan waktu. Hingga mampu memanggil Erik untuk pulang. Dengan sedikit sentuhan sang Ibu yang tidak lagi memusuhi Esa. Keduanya bertemu dan lagu indah itu menjadi sempurna. Sempurna seutuhnya dengan restu tak nyata dari sang Ayah. Laki-laki itu mau menyebut nama Erik dengan jelas. 

Tina menarik napas dalam-dalam, diresapinya tulisan dalam novel bersampul sepasang kaki itu dengan baik. Alur kisah yang naik turun mampu memainkan emosinya. 

Kadang Tina merasakan kesedihan Esa. Lalu berganti dengan kesenangan begitu membaca bab berikutnya. 

Tina agak menyesal karena baru sekarang membaca buku karangan K.Fischer sekarang. Lima tahun setelah buku itu terbit. Namun bukankah terlambat masih lebih baik daripada tidak.

Buku terbitan Bhuana Sastra ini memang tidak dalam bentuk fisik, namun digital sehingga bisa dipinjam dan dibaca dari mana saja. Ya, Tina membacanya melalui aplikasi Ipusnas yang diunduhnya. Kini membaca menjadi lebih mudah untuknya. Akan selalu ada buku untuk dibaca. Dimana pun dan kapan pun. 

Ps:
Tulisan ini merupakan ulasan dari buku Denting Lara karangan K.Fischer. Gaya penulisan menggunakan orang ketiga untuk mendapatkan sisi berbeda. 

Komentar