Pengalaman Naik Pelita Air Service

Tersasar. Mencari Makam Sultan Inayatullah, Sultan Banjar ke 5

Perjalanan pertama setelah pandemi. Saking senangnya sampai tersasar jauh. Tetap gembira dan menikmati perjalanan untuk melihat makam Sultan Inayatullah di Martapura. 

Makam sultan inayatullah


Lama nggak menjelajah jauh. Memang tiap hari keliling kota, tapi tentu saja beda. Beberapa kali berencana buat menjelajah sama ibu Laila Binti Abdul Jalil. Beliau salah satu arkeologi di Kota Banjarbaru Kalimantan Selatan. 

Sebelum pandemi kami pernah main atau studi banding kecil-kecilan ke rumah tradisional banjar bubungan tinggi yang ada di Telok Selong, Martapura lama.   Melihat dan membandingkan bentuk, kondisi, dan perkembangan rumah tradisional bubungan tinggi yang ada di Cempaka kota banjarbaru dan Telok selong kab. Banjar. Tentu saja perbedaannya sungguh ada.  

Habis itu, niat menjelajah lagi selalu saja tinggal rencana. Jadwal kami kerap bentrok. Kecuali hari ini. Akhirnya bisa menjelajah lagi. Kami mau melihat makam Sultan Inayatullah. Sultan Inayatullah atau Pangeran Dipati Tuha adalah Sultan Banjar yang berkuasa tahun 1636/1642-1645. Nama Sultan Inayatullah merupakan nama yang diberikan dalam khutbah sholat.  

Beneran menjelajah karena perjalanan menuju makam Sultan Innayatullah nyasar jauh.  Bayangkan, dua emak-emak asyik saja memacu motor di jalan Ahmad Yani melewati pelampayan, astambul, bablas terus ke arah rantau.  

Tak peduli panas tengah hari, dua motor itu kadang menyalip kendaraan di depan. Lihat spedometer, kecepatan nggak kurang dari 50 km/jam.  Sambil jalan, sesekali saya memerhatikan toko-toko yang dilewati. Nggak lupa membaca papan petunjuk jalan. Rantau, kandangan lurus. Bincau, tambak irang ke kanan. Bablas terus. 

Sebuah papan jalan bertuliskan benteng ke kanan, sukses menghentikan laju motor. Di situ kami sadar kalau nyasar.  Betul saja, pas cek di peta, letak makam tidak jauh dari jl. Martapura lama. Ini jalan tempat rumah tradisional banjar di telok selong.  

Ya wis, putar balik saja. Melaju lagi di jalan yang belum lama di aspal ulang. Lihat padi yang menguning. Lihat padi dijemur di atas tikar atau terpal. Lihat toko yang menawarkan bolu gulung. Lihat sungai martapura di kiri jalan.  

Hingga akhirnya melewati jembatan martapura yang tengah diperbaiki. Belok kanan lalu ikuti jalan. Melewati rumah tradisional banjar di telok selong. Lurus menyeberangi jembatan.  

Jembatannya ekstrem lho. Jangan coba-coba ngebut karena jembatan cukup tinggi dan terlalu dekat dengan badan jalan. Di sisi seberang malah langsung berbelok tajam ke kiri dan ke kanan.  



Ikuti google map dong yang meminta berbelok ke kiri. Ada sebuah gapura bertuliskan makam Sultan Inayatullah, tapi ketika diikuti yang terlihat justru pemakaman warga. Seingat Ibu Laila, makam sultan berada ditepi jalan besar. Tidak masuk ke dalam gang.  

Puter lagi, anggap saja uji kemampuan menebak. Kali ini memilih jalan terus melewati gapura.  Menyusuri sungai saja. Terus sampai ketemu jembatan besi lagi. Dan, makam sang sultan terletak tak jauh dari ujung jembatan.  



Benar ada di tepi jalan. Sebuah papan nama besar jadi penanda. Yes, mari melihat nisannya.  Bentuknya serupa nisan di Aceh. Terlihat ada ukiran seperti kubah masjid. Lalu bulatan. Tanpa tulisan lainnya. Atau mungkin dulu ada, namun tak terlihat akibat sapuan cat.  Mungkin maksudnya menjaga agar nisan tak rusak, namun jadi menghapus jejak. 

Selesai?  Tidak.  Kami justru penasaran, mengapa gapura letaknya beberapa ratus meter dari makam? Apakah dulu jalan besar ini merupakan jalan setapak? Atau ada dua sultan bernama sama?  Ketimbang penasaran, mending cari tahu. 




Jalan lagi mengikuti jalan kecil berbatu, lalu jalan yang tertutup blok. Dan, ada makam lain di situ. Makam Sultan Tahmidillah.  Makam Sultan Tahmidillah Di google disebut makam Sultan Innayatullah. Bentuk makam Sultan Tahmidillah sedikit lebih kecil dibanding makam sultan sebelumnya.  

Bentuk nisanya tak jauh beda. Hanya ukirannya terlihat lebih jelas. Nisan ini sebagian terbalut kain kuning.  Harum bunga tercium karena disebelah makam sultan terdapat makam guru. Tak ada yang bisa kami tanyai mengenai keberadaan malam ini. Sama dengan makam sebelumnya.  

Jadi tanda tanyanya belum terjawab.  Ya sudah, dikejauham langit mulai berubah gelap. Sebaiknya segera kembali agar tak kehujanan. Kali ini kecepatan cukup 40 km/jam. Lain kali bolehlah berkeliling lagi. 

Komentar