Ada Apa di Kota Serang?

Makan Siang Dengan Ketupat Mi

Makan siang di pasir papan
Makan siang (dok. Pribadi).



November di awali dengan cuaca yang lumayan syahdu. Matahari pagi sangat bersahabat. Sepanjang siang juga tak terik, ada payung besar melindungi dari belaian sang surya.


Perjalanan saya menuju Mess L terasa menyenangkan. Angin bertiup lembut dan jalan yang tidak terlalu ramai. Sampai di lokasi langsung menuju bagian dalam Mess L. Terlihat anak-anak duduk di atas tikar sementara beberapa orangtua dan guru duduk di bangku yang berada di bawah pohon.


Saya memilih duduk di tangga paling bawah. Asyik saja duduk di teras Mess L melihat anak-anak mendongengkan cerita rakyat Kalimantan Selatan. Cara mereka bertutur sangat menyenangkan. 


Ada yang tampil tanpa membawa piranti tambahan. Sepenuhnya mengandalkan kepiawaiannya memainkan intonasi suara ketika berganti peran. Ada juga yang membekali diri dengan peralatan tambahan seperti perahu kardus untuk memperkuat jalan cerita. Lagi asyik-asyik melihat penampilan anak-anak, sebuah pesan masuk dan membuat saya harus meninggalkan lokasi.


Sesaat kemudian beringsut ke tempat berbeda, ke Disporabudpar. Kali ini buat ngobrol seru seputar cagar budaya yang ada di Kota Banjarbaru. Dari perbincangan, saya bisa menerka kalau ada rasa tertarik pada kegiatan yang berkaitan dengan cagar budaya.


Yup, mengulik sejarah itu seru dan bisa lupa waktu. Namun jangan lupakan saatnya mengisi perut. Jangan sampai obrolan membuat lupa akan kebutuhan dasar manusia.


Itu sebabnya serombongan orang memilih meninggalkan ruangan. Tak lama setelah jam berdentang 12 kali. Kami beramai-ramai menuju Martapura untuk menikmati makanan Banjar. Saya ikut serta karena ingin tahu dan penasaran.


Rombongan bermotor ini melewati ruang jalan utama lalu berbelok ke arah Rumah Sakit Ratu Zaleha. Lurus terus melewati pasar, kemudian berbelok ke jalan Nilam dan berbelok lagi ke jalan lain yang saya lupa. Tahu-tahu di depan terlihat jembatan besi. Motor paling depan berjalan melambat. Rupanya kami sudah sampai di jalan Pasir Papan. Ada sebuah warung makan di kanan jalan.

Ketupat mi
Ketupat mi (dok. Pribadi).



Suasananya masih sepi. Baru ada tiga pengunjung yang sedang bersantap. Sepertinya kami datang tepat waktu. Langsung saja memarkir motor di teras warung lalu melepas sepatu seperti pesan yang ditempel di muka pintu.


Di warung tepi jalan yang baru saya datangi, terlihat beberapa pilihan makanan, ketupat betumis, ketupat mi, dan satai ayam. Sementara di atas meja panjang terlihat beberapa kue tradisional tertata rapi. Ada kelepon, mageli, samosa, kacang goreng, pais waluh, dan tahu petis dengan cabai besar dan taburan kacang tanah.


Entah lapar atau memang sudah ingin makan, tanpa dikomando masing-masing langsung memesan hidangan kesukaan pada acil yang berdiri di belakang pembatas. Sebenarnya ada plang menu atau lebih tepatnya spanduk menu yang bisa dibaca, namun tidak terlalu berpengaruh karena makanan yang disajikan sudah tertata di atas piring-piring di meja depan acil. Saya memilih ketupat mi dengan lima tusuk satai ayam. Ditambah segelas jeruk peras dingin.


Satai ayam
Satai ayam (dok. Pribadi).


Wow, waktu piring pesanan saya tiba, ternyata berisi potongan ketupat, beberapa potong tulang ayam, mi kuning, dan irisan kol. Satai ayam tersaji dipiring terpisah.


Ruoanya ketupat mi itu ketupat dengan disiram kuah sop. Rasanya tidak terlalu gurih karena kaldu dibuat dari tulang ayam. Ada sih jejak msg tapi tidak terlalu kuat.


Sementara satainya terbuat dari potongan daging ayam. Cukup tebal dan dibalur bumbu berwarna oranye. Setelah dibakar akan diberi bumbu kacang. 

Sekejap, makanan diantar dan semua asyik menikmati. Saya juga termasuk, bahkan paling akhir selesai makan. Pikiran saya terlalu sibuk menebak rasa dari setiap sajian hingga bisa dikatakan tertinggal.


Tak apa, sekali-kali merasai makanan dengan baik. Tanpa merasa dikejar waktu.

Komentar