Ada Apa di Kota Serang?

Melihat Acara Mandi Sungai Riam di Cemapaka

tempat mandi sungai riam
Tempat mandi sungai riam (dok. pribadi)



Menurut orang-orang zaman dulu, jika seseorang memiliki kaitan dengan Datuk atau Pangeran Suryanata maka dia harus melakukan mandi sungai riam. Jika lalai, akan berdampak pada kehidupannya.

 

Bagi masyarakat Banjar, acara mandi-mandi merupakan ritual yang dilakukan sebelum menjalani sebuah kegiatan besar, seperti menikah dan selamatan pada masa kehamilan. Acara mandi-mandi tersebut dilakukan di rumah dengan beberapa peralatan khusus seperti air yang dilengkapi dengan bunga dan kembang manggar atau bunga dari pohon kelapa. 

Sudah beberapa kali saya mengikuti dan melihat kegiatan mandi-mandi, namun baru kali ini saya mendapat kabar akan acara mandi-mandi sungai riam. Dahi saya langsung berkerut karena heran mendengar namanya. Memang baru kali ini saya mendengar acara mandi-mandi dengan nama itu.

Ketika dikabari, saya tidak berpikir dua kali untuk mengiyakan. Walaupun diwanti-wanti kalau acara akan dilakukan setelah usai sholat subuh. Tempatnya di Kecamatan Cempaka Kota Banjarbaru. Kira-kira 15 menit dari rumah yang berada di Kecamatan Banjarbaru. 

Sesuai janji, saya sudah meninggalkan rumah sebelum azan berkumandang. Jalanan masih sepi. Beberapa motor dan mobil terlihat di jalan raya, entah menuju ke mana. Saya menikmati suasana kota yang sepi sambil tetap menjaga kewaspadaan. Terutama saat melewati simpang empat bundaran. Biasanya bundaran ini ramai oleh kelompok remaja atau perkumpulan sepeda motor. Namun pagi ini sepi, bisa jadi mereka sudah kembali ke rumah untuk merajut mimpi.

Lampu jalan yang terang menemani perjalanan saya hingga pertigaan Cempaka. Selanjutnya penerangan berasal dari lampu-lampu rumah penduduk. Tidak boleh lengah sebab truk-truk melintas dari arah Pelaihari menuju Kota Banjarbaru atau ke Martapura. Suasana semakin sunyi ketika melewati area pemakaman umum yang mengapit jalan.

Tenang, tenang. Tetap mengemudi dengan waspada karena jalan mengecil. Ukuran jalan sedikit melebar selepas pemakaman umum. Suara orang mengaji mulai terdengar dari pengeras suara yang berasal dari masjid. Motor terus melaju melewati Masjid Jami Cempaka menuju arah Kampung Pumpung.

Walau termasuk dalam wilayah Kota Banjarbaru, tetapi suasana di sini sangat berbeda. Deretan rumah kayu membuatnya seperti berada di sebuah perkampungan. Apalagi lampu jalannya tidak tersebar merata serta tak ada trotoar pembatas jalan, benar-benar seperti berada di luar Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan.

Sambil melaju, saya memerhatikan betul bangunan dan persimpangan jalan. Berkendara di siang dan subuh sungguh berbeda. Beruntung beberapa warga sudah mulai keluar rumah menuju langgar dan masjid untuk melakukan ibadah. Saya jadi tidak merasa sendiri.

Tepat di pertigaan yang dilengkapi dengan papan petunjuk arah menuju monumen intan trisakti, saya berbelok masuk. Sepi sekali. Sebagian besar rumah sudah mematikan lampu. Langit yang seharusnya sudah mulai terang tampak tetap terlihat gelap. Rupanya awan tebal mengantung. Cepat-cepat saya berbelok masuk ke sebuah halaman. Pintu yang tertutup rapat terbuka. Saya pun melangkah masuk. Acara belum dimulai.

Menuju Desa Karya Jaya

Ternyata acara mandi sungai riam tidak dilakukan di rumah. Ibu pemilik rumah menjelaskan bahwa acara mandi dilakukan di desa Karya Jaya yang berada di perbatasan Kota Banjarbaru dan Kabupaten Tanah Laut. Di tempat orang yang memang bisa melakukan kegiatan tersebut. 

Menurut Ibu tersebut, peralatan untuk acara mandi sungai riam sangat banyak. Begitu juga dengan piduduk atau sesaji yang harus disediakan sehingga lebih praktis jika melakukannya di Desa Karya Jaya. Tidak lama berselang, sebuah mobil datang. Kami segera menuju tempat mandi sungai riam.

Mobil berjalan santai. Melewati jalanan yang belum terlalu ramai. Saya dan 10 orang penumpang, duduk tanpa banyak bicara. Mungkin semua masih menahan kantuk atau pikirannya justru sibuk mencari tahu seperti apa ritual yang akan dilakukan.

Dengan suara pelan saya bertanya pada lelaki yang akan menjalani ritual tentang apa yang akan dilakukan nanti. Dengan suara tak kalah pelan, seolah tak ingin orang lain tahu, dia menjawab kalau baru kali ini mengikuti ritual sehingga belum tahu akan seperti apa. Informasi yang diketahuianya akan banyak makanan khusus untuk piduduk serta membawa pakaian ganti. Itu saja. Kami pun tenggelam dalam kesunyian hingga mobil berhenti di sebuah rumah.

Tempat mandi

Hujan yang turun sejak dinihari tadi memang sudah berhenti, tetapi air membuat tanah menjadi licin. Rombongan bisa dengan mudah mencapai rumah pemimpin acara, namun akan kesulitan berjalan menuju Sungai. Laki=laki setengah baya yang akan memimpin acara memutuskan untuk melakukan ritual di rumah. Ia telah menyiapkan sebuah tempat mandi khusus di samping rumah.

Memang tadi saya melihat sebuah tempat sederhana. Ada bangku yang dikelilingi oleh empat buah tiang. Antara tiang pertama hingga ketiga terbentang tali berwarna kuning. Jika dilihat bentuknya menjadi kotak.

Pada tali tergantung kue berbentuk khusus. Bukan kue cincin seperti yang pernah saya dapati di acara mandi pengantin banjar. Kue di acara mandi Sungai riam berwarna putih dan kuning. Pada bagian tiang depan yang berfungsi sebagai pintu terdapat hiasan janur, seperti pedang, udang, dan tangga pangeran. Di bawahnya tertancap batang tebu. Sementara di bagian atas tengah tempat mandi terbentang kain kuning. Bak berisi air dengan kembang mayang tergeletak di bagian depan. Tak jauh dari tempat duduk.

Berkejaran dengan mendung, pemimpin acara meminta laki-laki, istri, dan anaknya untuk bersiap. Sesaat kemudian ketiganya duduk di bangku dan doa pun dipanjatkan. Disusul oleh guyuran air dari ember yang dituang ke atas kain kuning. Jeritan kaget terdengar dari mulut sang anak, wajahnya panik, tak menyangka akan disiram air di pagi yang dingin.

Entah berapa kali air dituangkan, sebelum akhirnya pemimpin ritual memberikan wadah berisi pupur berwarna kuning. Semua harus membalurkan pupur ke seluruh tubuh dan wajah. Air pun kembali disiramkan untuk membersihkan pupur yang menempel.

Piduduk dari ketan

Selesai sudah. Kini keluarga kecil itu segera berganti baju. Sementara saya dan keluarganya masuk ke dalam rumah panggung. Terlihat piduduk atau sajian untuk keperluan ritual tertata rapi di atas lantai.

Ada kue-kue tradisional seperti wajik, lemang, dodol, ayam panggang, ketan beinti, dan kue-kue aneka bentuk. Tak lupa kopi dan teh serta air putih. Sementara kami menunggu, pemimpin acara berdiri, Bersiap menabur beras kuning ke keluarga kecil yang akan naik ke rumah.

Baru setelah itu dupa dibakar. Doa pun dipanjatkan. Setelahnya, kopi dan teh hangat dikeluarkan. Kami diminta mencicipi piduduk yang semuanya terbuat dari ketan. Hanya kue warna-warni saja yang tidak dapat dimakan karena keras dan tanpa rasa. Kue itu merupakan syarat utama untuk mandi-mandi Sungai riam. Bentuknya menggambarkan berbagai peralatan rumah tangga yang digunakan oleh masyarakat, seperti cermin, dan meja,

Sambil menyeruput teh hangat, saya berbincang dengan pemimpin acara. Darinya saya mengetahui kalau acara mandi-mandi Sungai riam hanya dilakukan oleh mereka yang masih memiliki kaitan atau keturunan dari Pangeran Suryanata.

Tujuannya mengharapkan agar kehidupan keturunan Pangeran Suryanata dapat berjalan dengan baik. Terhindar dari berbagai hal buruk. Tidak melupakan akar leluhurnya.

Saya mengangguk mendengar penjelasan tersebut. Saya beruntung dapat ikut serta dan mendokumentasikan kegiatan yang sangat jarang dilakukan oleh masyarakat. Indonesia memang memiliki kekayaan yang sangat beragam dan patut dilestarikan.

 

  

Komentar