Ada Apa di Kota Serang?

Rempongnya Dapur Umum Untuk Pengungsi Banjir Kalimantan Selatan

 

Telur bistik untuk pengungsi
Telur bistik 

Rempongnya dapur umum yang bertugas menyediakan makanan untuk pengungsi banjir di Kalimantan Selatan, akhirnya saya rasakan juga. Meski tangan tak henti membungkus nasi, rasa gembira tetap terasa karena berbagi untuk sesama sangat menyenangkan.

Tidak pernah ada yang menggira kalau musibah akan datang. Hujan yang turun di awal tahun disikapi dengan santai. Biasa saja. Bukankah hujan adalah karunia bagi kehidupan.

Seperti halnya warga Kalimantan Selatan lainnya, saya pun mensyukuri nikmat yang diberikan sang pencipta. Melihat dan menikmati rasa dingin sembari menikmati segelas teh hangat sembari menuntaskan pekerjaan.

HUJAN TAK HENTI

Namun, perasaan berubah menjadi was-was kala hujan tak juga reda. 1 hari. 2 hari. Bahkan hingga hari ke 3, hujan tidak benar-benar pergi, hanya sedikit mereda. Beruntung anak-anak sekolah secara daring. Andai harus ke sekolah, sudah pasti drama yang berlangsung akan sangat membuat saya kelimpungan. Seragam basah yang harus segera dikeringkan. Menyiapkan jas hujan dan sandal agar sepatu bisa dikenakan esok hari. Belum kisah lainnya yang membuat hati sedih (ini agak lebay).

Kecemasan itu terbukti, esoknya grup komplek ramai dengan kabar banjir di beberapa wilayah di kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan, tempat saya bermukim. Air mengalir deras di dekat jembatan hingga sangat tidak disarankan untuk melintas. Beberapa pohon besar peneduh jalan pun tumbang. 

Baca juga:

Menjadi Penggiat Budaya, mendekatkan diri pada masa lalu dan masa kini

Otomatis hari itu sebagian besar masyarakat tidak bisa beraktivitas. Urusan masak sepenuhnya mengandalkan stok bahan makanan yang ada di kulkas.

BANJIR ITU DATANG

Melihat kondisi yang tidak menguntungkan, saya mencari tahu kabar melalui sosial media. Satu persatu beranda teman-teman saya hampiri. Tak lama mulai banyak video banjir muncul.

Hua, ternyata banjir melanda kota ini. Lewat unggahan video seorang teman, saya terperangah melihat permukaan jalan di depan rumahnya hilang. Ruas jalan itu sudah berubah menjadi sungai.

Sejauh mata memandang hanya ada air berwarna kecokelatan. Tingginya mencapai 50 cm hingga tak mungkin dilewati kendaraan roda dua. Arus air pun cukup deras.

Baca juga:

Mencicipi nasi menjangan di Dermaga Tiwingan

Bolu singkong, alternatif olahan singkong kekinian 

Semakin siang, semakin banyak kabar yang saya dapat. Banjir juga mengenangi kota Banjarmasin. Mula-mula hanya di jalan dan kawasan tepi sungai. Semakin lama, air semakin tinggi hingga masuk ke dalam rumah. 

Tak hanya itu, banjir pun melanda beberapa kabupaten di provinsi ini. Ada 11 kota dan kabupaten yang terendam banjir, Kota Banjarmasin, Kota Banjarbaru, Kabupaten Banjar, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kabupaten Balangan, Kabupaten Tanah Laut, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Tapin, dan Kabupaten Tabalong. 

Saya terhenyak. Banyak orang terkejut. Tak menyangka banjir melanda Provinsi ini secara masif. 

PENGUNGSI

Dibandingkan kota dan kabupaten lain, kota Banjarbaru terbilang tinggi. Tidak semua bagian terkena banjir. Air pun dapat segera surut dalam 2 hari. 

Namun, masyarakat di kabupaten lain tidak seberuntung kami. Air terus naik tanpa bisa dibendung. Hujan yang turun di pegunungan Meratus menyebabkan banjir makin tinggi.

Tak terbiasa menghadapi banjir memberi efek kejut besar. Warga tak siap hingga ketika air meninggi dengan cepat, tak ada yang bisa diselamatkan selain diri sendiri. Tak mungkin tinggal hingga air surut. Harus bergegas mengungsi.

Banyak pengungsi menyelamatkan diri ke kota ini. Mereka datang tanpa membawa apapun. Keselamatan sudah pasti lebih utama.

Seketika masyarakat dan Pemerintah Kota membuka tempat pengungsian. Ada yang membuka pintu rumahnya lebar-lebar, ada juga yang merubah warung makannya menjadi tempat pengungsian, sarana milik Pemerintah Kota pun disulap menjadi lokasi pengungsian. Semua bersama-sama bersatu, saling membantu.

DAPUR UMUM

Salah satu sarana yang digunakan sebagai tempat mengungsi adalah Taman Sains. Letaknya dekat rumah. Taman ini luas sehingga bisa difungsikan sebagai dapur umum. Ibu-ibu yang menjadi pengurus dasa wisma kebagian tugas memasak alias dapur umum.

Kegiatan memasak dilakukan sejak pagi buta. Tim dapur umum bertugas menyajikan makan pagi, makan siang, dan makan malam.

Baca juga:

Cara memasak nasi dengan kompor gas dan kukusan

Saya baru bergabung pagi hari. Ketika datang suasana dapur umum sudah ramai. Beberapa orang ibu sibuk menyiangi sayuran. Sementara tiga orang ibu bertanggungjawab pada masakan. Tim masak utama ini berada di bawah dua tenda besar.

Ada 5 kompor besar yang terus menyala. 3 kompor untuk memasak nasi. Sisanya dipakai memasak sayur tumis pepaya muda.

Oh ya proses memasak nasinya beda dengan memasak nasi di rumah. Tujuannya buat menghemat waktu dan peralatan. Jadi buat masak nasi hanya perlu dandang besar. 

Beras yang sudah dicuci langsung dimasukkan ke dalam panci. Air dalam panci sengaja sedikit melebihi sarangan. Beras yang setengah masak dibalik. Lalu teruskan memasak sampai nasi matang.

TAHAN PANAS

Berbeda dengan tim masak, tim pembungkus justru berada di luar tenda. Kami berada di bawah naungan pohon besar. Duduk beralaskan terpal plastik, siap menjalankan tugas.

Kumpulan paling banyak ada di tim membungkus yang mencapai 15 orang. Saya masuk tim ini.

Baca juga:

Manisnya pepaya carica, pendorong ekonomi masyarakat Dieng

Awalnya karena nasi belum matang, saya dan ibu-ibu lain masih bisa berbagi cerita, namun begitu nasi siap, mulailah kami berkejaran waktu membungkus nasi.

Yup, semua harus dilakukan dengan cepat. Tak peduli nasi masih mengepul. Lauk masih panas. Semua harus segera dikemas karena perwakilan pengungsi sudah datang.

Ya ampun. Rasanya telapak tangan ingin dikipasi karena berwarna merah akibat bersentuhan dengan nasi dan lauk panas. Memang sih ada kertas pelapis, tapi benetan lho nggak terlalu berpengaruh. Rasa panas itu tetap ada.

Untuk menyiasati rasa hot dari makanan, kami bergerak dengan cepat. Maksudnya estafet dari bagian pemberi nasi lalu bagian lauk sampai ke pembungkus dikerjakan dengan secepat kilat. Memang sih bungkus nasinya jadi tak elok, namun tetao tidak membuat isinya tercecer.

Rasanya proses pembungkusan tak berhenti hingga suara azan berkumandang. Herannya kok nggak lapar ya. Apakah kenyang melihat lauk dalam wajan besar? Atau takut para pengungsi terlewat waktu makannya.

Fiuh...kalau ingat kejadian itu saya masih tak percaya bisa menahan rasa panas sampai telapak serupa udang rebus. Merah merona tanpa perlu kuatir lumpur.

Kegiatan di dapur umum berhenti menjelang magrib. Setelah sebelumnya menyiapkan makan malam untuk para pengungsi.

Sungguh bekerjasama dengan banyak orang benar-benar memberi saya belajar untuk mensyukuri semua nikmat. Dan jangan pernah ragu untuk menyingsingkan lengan untuk sesama.




Komentar